Welcome to my blog :)

rss

Kamis, 26 November 2009

ETIKA PROFESI AKUNTANSI


SKANDAL BLBI
BENANG KUSUT BLBI, MSAA DAN PKPS
(Tinjauan Dari Sisi Viktimologis)
Abstrak
Kebijakan pemerintah dalam persoalan penyelesaian kredit likuiditas Bank Indonesia ternyata memakan banyak korban. Penyelesesaian kredit likuiditas melalui MSAA, MRA dan PKPS ternyata sampai sekarang belum menampakkan titik terang keberhasilan bahkan cenderung hanya menjadi perdebatan saja. Tindakan penguasa/pemerintah yang cenderung membantu dan melindungi para penerima BLBI menunjukkan bahwa komitmen memperjuangkan nasib rakyat kecil patut untuk dipertanyakan. Tindakan penguasa yang demikian menimbulkan korban yaitu rakyat kecil yang sebenarnya tidak tahu apa-apa dan hal ini akan terus berlanjut jika pemerintah terus melakukan misbruik van macht.
A. Pendahuluan
Dalam lima tahun terakhir ini kehidupan bangsa Indonesia dipenuhi dengan dinamika yang menjadikan negeri ini karya warna. Tonggak yang dapat dipegang dan penuh harapan sebenarnya timbul ketika terjadi gerakan reformasi pada 1998 dengan momentum utamanya adalah turunnya Presiden Suharto. Berbagai harapan untuk memperbaiki hidup atau membuat hidup lebih hidup atau lebibi baik dikumandangkan seperti paduan suara yang nyaring terdengar. Ketika harapan untuk hidup lebih baik didendangkan dan lagi ninabobo dihentikan, para politisi malah sibuk membangun jaringan komunikasi untuk membentuk dan menjaring kekuasaan yang sangat mudah didapatkan.
Harapan untuk memperbaiki hidup rakyat sangat menggebu-gebu meskipun keadaan ekonomi sebenarnya sangat parah. Keadaan ini sama dengan anak muda yang sedang naik libidonya tetapi tidak mempunyai kemampuan atau keberanian mental dan finansial untuk menunjang libidonya itu. Hal ini diperkuat dengan ambisi para politisi yang selalu membuai rakyat dengan kata-kata manis (dan beracun) untuk selalu membela rakyat kecil (kawulo alit) padahal mereka sendiri tidak tahu siapakah rakyat kecil itu sebenarnya. Inilah yang disebut dengan pseudo-science atau pengetahuan yang semu tentang rakyat kecil dan keadaan ini akan tetap berlangsung karena rakyat kecil merupakan komoditas yang mempunyai nilai jual yang tinggi baik secara ekonomis maupun politis.
Pada saat euforia reformasi waktu itu, banyak kalangan dibalut dengan harapan dan hasrat untuk memperbaiki hidup. Dengan logika hasrat yang sederhana mereka berusaha membangun harapan-harapan itu dapat segera terwujud. Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya karena hasrat-hasrat tersebut tidak ditangani dengan manajemen hasrat sehingga yang terjadi tidak seperti yang diharapkan melainkan apa yang tidak diharapkan.
Sekarang keadaannya tidaklah berubah, artinya meskipun pemerintah-annya sudah berganti tetapi elit politik dan penguasa tetap cakar-cakaran memperebutkan kue kekuasaan, tidak saling mendukung bahkan saling menjatuhkan. Keadaan ekonomi yang digadang-gadang akan membaik berdasarkan prediksi para ahli ekonomi sampai paranormal/supranatural, keadaannya tidaklah berubah. Rakyat (terutama rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak) yang tidak mengetahui dinamika dan permainan politik menjadi bingung dibuatnya. Mereka tidak sadar bahwa mereka adalah korban ambisi, korban politik, korban hasrat dan pemenuhan libido yang menggebu-gebu di dada para politisi.
Ketika keadaan ekonomi tidak juga berangsur membaik, otoritas moneter justru membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha besar atau konglomerat dengan mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Langkah ini terbukti tidak efektif karena para konglomerat itu ingkar janji dan tidak mengembalikan bantuan likuiditas itu sedangkan penyelesaian melalui prosedur Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing Agreement (MRA) tidak kunjung usai.
Hal ini ditambah lagi dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang sekali lagi menunjukkan niat otoritas moneter untuk membuat pengusaha dan konglomerat yang tersangkut di dalamnya keenakan. Meskipun PKPS akhirnya batal diperpanjang tetapi hal ini sudah cukup menunjukkan bahwa niat memperpanjang PKPS bukanlah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan para pengusaha, konglomerat dan kepentingan politik penguasa.
Berbagai kejadian dapat dirunut dari awal reformasi sampai sekarang, tetapi benang merah yang hendak ditonjolkan dalam tulisan ini adalah nasib rakyat kecil yang kerap kali terabaikan oleh dentuman ambisi politik dan ekonomi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Rakyat yang kehidupan ekonominya mengalami kesulitan makin dibikin bingung dengan berbagai manuver politik yang dibuat oleh para politisi, ekonom, pengusaha dan juga para kriminal ataupun mereka-mereka yang berbaju necis tetapi sebenarnya adalah kriminal. Keadaan rakyat sudah sangat memprihatinkan ditambah dengan sikap penguasa yang sering paradoksal dalam membuat kebijakan tentang rakyat kecil. Kondisi rakyat ini dapat diibaratkan seperti sudah jatuh tertimpa tangga, sudah terluka terkena asam cuka pula. Uraian berikut ini akan menyoroti beberapa peristiwa yang menimbulkan kerugian atau korban di pihak rakyat baik yang secara langsung dirasakan pada saat itu maupun yang tidak dirasakan pada saat ini meskipun akhirnya mereka akan merasakannya di kemudian hari.
B. BLBI, MSAA dan PKPS: Benang Kusut yang Kontroversial
Untuk melihat kekusutan masalah ini, penulis akan menggunakan pendekatan teori permainan (game theoru) sederhana agar mudah dipahami. Untuk itu secara singkat akan disinggung kronologi peristiwa ini. Sesuai dengan perannya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia dapat memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas (mismatch). Pada Desember 1996, bantuan likuiditas yang disalurkan oleh Bank Indonesia hanya Rp. 371 miliar dan sebulan sebelum krisis (Juni 1997) posisi BLBI sebesar Rp. 1,2 triliun. Pada bulan Juli 1997 (awal krisis) posisi BLBI hanya bergerak sedikit menjadi 1,4 triliun. Setelah bulan Juli 1997, posisi BLBI terus mengalami kenaikan apalagi setelah rejim krus bebas diterapkan pada Agustus 1997. Waktu itu Presiden Soeharto memberikan arahan agar tidak melikuidasi bank selama periode antara Pemilu 1997 sampai Sidang Umum MPR Maret 1998. Oleh rapat Direksi Bank Indonesia, 15 Agustus 1997, pengarahan presiden itu diterjemahkan dalam bentuk dispensasi terhadap sanksi skorsing kliring bagi bank-bank yang kalah kliring. Keputusan ini diikuti dengan kenalikan penyaluran BLBI sebesar Rp. 4 triliun hingga posisinya menjadi Rp. 5,2 triliun pada awal September 1997. Oktober 1997 posisi BLBI naik menjadi Rp. 8,6 triliun sebagai akibat tindak lanjut Sidang Kabinet Ekkuwasbang dan Prodis yang membutuhkan memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank sehat yang mengalami mismatch.
Kebijakan ini memberikan legitimasi kepada Bank Indonesia (yang masih menjadi bagian dari Pemerintah) untuk menyalurkan bantuan likuiditas. Sampai di sini pertumbuhan BLBI selama empat bulan pertama masa krisis tidak menunjukkan lonjakan yang sangat fantastis. Perubahan yang sangat luar biasa terjadi setelah pemerintah melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997. Posisi BLBI naik menjadi Rp. 32 triliun hanya dalam waktu sebulan. Jumlah penerima BLBI pun naik dari 131 menjadi 164 bank. Hingga akhir Desember 1997 posisi BLBI yang disalurkan sudah mencapai 47,1 triliun. Pada 27 Desember 1997 berdasarkan disposisi Presiden Suharto atas Surat Gubernur BI tanggal 26 Desember 1997, Mensesneg Moerdiono membuat surat No. R-183/M.Sesneg/12/1997 menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Sebelumnya (9 Desember 1997) Direksi Bank Danamon menemui Direksi BI, di mana disetujui SBPUK senilai Rp. 6 triliun bagi bank itu.
Untuk menyelesaikan krisis yang terjadi, Pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF. Untuk itu ditanda tangani Letter of Intent dengan IMF pada 15 Januari 1998. Di sini pemerintah berencana memberikan jaminan atas deposito (blanket guaranteei) dan diputuskan melalui Keppres No, 26/1998 tanggal 26 Januari 1998. Akibatnya selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp. 103 triliun, artinya situasi rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI melonjak sangat besar.
Maret 1998 Badan Penyebatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan dan menerima pengalihan 54 bank dari BI. Langkah ini justru diikuti dengan rush lanjutan dalam situasi likuidasi ketat pada April 1998. Selama Maret-April nilai BLBI melonjal dari Rp. 31 triliun menjadi hampir Rp. 135 triliun. Selama April September 1998 saldo negatif bank-bank di bawah BPPN justru terus naik. Kerusuhan Mei dan runtuhnya Suharto menyebabkan BCA dirush sehingga BCA memperoleh BLBI dalam tiga tahap pada Mei-Juni dengan total Rp. 35 triliun.
Selama periode Juni-September 1998 BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA yang kemudian ditanda tangani 21 September 1998. Kesepakatan akhir yang memuat release and discharge dcapai 9-10 bulan kemudian, yaitu Mei 1999 (dengan BDNI) dan Juni/Juli 1999 (dengan BCA). Dari kronologi di atas, menurut Dradjat Wibowo dengan menggunakan teori permainan dapatlah dikatakan bahwa penyaluran BLBI ini tidak lebih dari peristiwa transaksi biasa yang menjadi ruwet karena salah satu pihak mengeksploitasi set informasi miliknya lebih baik dari pihak lainnya, seperti nilai aset yang diserahkan. Jadi ada unsur tidak adanya good faith dari salah satu pihak, yaitu bank-bank penerima BLBI. Dapat diibaratkan secara sederhana pemerintah sebagai atasan Bank Indonesia, secara langsung dan tidak langsung menugaskan Bank Indonesia untuk memberikan BLBI (utang) kepada bank atau konglomerat nakal. Sayangnya pemerintah dan Bank Indonesia tidak membuat sistem penyaluran dan pengawasan hutang yang memadai, sehingga memperbesar peluang bagi bank atau konglomerat nakal untuk mengeksploitasi moral hazard. Lebih dari itu pemerintah dan Bank Indonesia tidak mempunyai set informasi yang cukup serta mekanisme insentif dan sanksi yang efektif yang dapat menjamin bank atau konglomerat nakal akan mengembalikan seluruh utangnya.
Tanpa terlalu banyak menggunakan istilah teknis dalam teori permainan, Dradjat Wibowo melihat ada tiga kecacatan dalam permainan tersebut. Pertama, kecacatan sebelum transfer barang dan uang dilakukan. Syarat dari satu pertukaran yang optimal adalah adanya kontrak ex ante, di mana seluruh hak dan kewajiban setiap pemain disebutkan secara rinci. Dalam kontek BLBI seharusnya kontrak ex ante ini menyebutkan mekanisme penyaluran, pengawasan dan pembayaran kembali dengan detail. Ternyata pejabat pemerintah dan BI saat itu termasuk Presiden, Menkeu, Gubernur dan Direksi BI yang mengetahui penyaluran BLBI tidak menyiapkan kontrak ex ante secara memadai.
Kedua, adanya pemisahan lembaga penyalur (BI) dengan lembaga penarik kembali (BPPN). Tanpa ada wanprestasi apapun pemisahan ini jelas dapat menimbulkan kondisi saling melempar kesalahan, apalagi ternyata pejabat atau pegawai BPPN memperoleh insentif finansial untuk setiap aset yang dijual. Dalam kondisi ini BPPN lebih termotivasi untuk penyelesaian dan penjualan aset daripada pengembalian BLBI secara adil. Hasilnya adalah skema MSAA yang sangat menguntungkan konglomerat penerima BLBI.
Ketiga, diabaikannya unsur biaya komunikasi dan informasi dalam permainan di atas. Secara teoritis biaya komunikasi dan informasi ini bisa menganggu tercapainya solusi optimal. Ternyata BPPN hanya menyerahkan hal ini kepada konsultannya terutama untuk melakukan penilaian aset. Tidak ada kewajiban transparansi bagi debitur penerima BLBI dan tidak ada mekanisme untuk menjamin nilai rupiah aset itu sama dana akan tetap sama dengan nilai BLBI yang diterima (prinsip dollar-to-dollar)
Dalam kondisi seperti itu secara teoritis strategis yang paling optimal bagi bank penerima BLBI adalah memaksimalkan selisih antara nilai BLBI dengan nilai aset yang diserahkan. Dengan berbagai teknik rekayasa finansial, selisih tersebut bisa ditransfer ke luar negeri, kemudian dibelikan dolar sebagai modal untuk menguasai asetnya kembali. Jadi apa yang dilakukan oleh bank atau konglomerat nakal itu sebenarnya sudah sesuai teori. Memang dalam teori dikenal sebuah Walrasian Tatonnement, di mana kontrak masih bisa direnogosiasikan sehingga sebuah equilibrium yang memuaskan semua pihak bisa dicapai. Tetapi equilibrium itu tidak akan tercapai kalau salah satu pemain melakukan boikot (blocking).
Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa BPPN sesungguhnya adalah pemain kunci dalam segala keruwetan penyelesaian BLBI. Cacat kedua dan ketiga dari pertukaran di atas tidaklah lepas dari peranan BPPN. Bahkan kalau MSAA ditafsirkan sebagai sebuat Walrasian tatonnement maka kegagalan BPPB dalam memastikan nilai rupiah BLBI sama dengan nilai rupiah dari aset yang diserahkan merupakan bentuk lain dari cacat pertama.
Lebih parahnya cacat pertama pemerintah dan BI tersebut belum mempunyai kekuatan hukum, tetapi dalam cacat pertama yang dilakukan oleh BPPN justru mempunyai kekuatan hukum yang merugikan negara.


C. Keberadaan Korban sebagai Hasil Konstruksi Sosial
Masyarakat yang tidak banyak tahu mengenai perubahan politik dan ekonomi makro sebenarnya menjadi korban dari tinakan para penguaasa (pemerintah, Bank Indonesia dan BPPN) dan pengusaha atau konglomerat nakal yang mempermainkan kredit likuiditas. Dalam konteks viktimologi (terutama new victimology), apa yang dirasakan oleh rakyat dapat dikelompokkan sebagai korban penyalahgunaan kekuasaan politik dan ekonomi. Apa yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya bersifat politis dan konsep kejahatan itu sendiri dapat juga didasarkan pada aspek politis seperti dikatakan oleh Chambliss, "What gets defined as criminal or delinquent behavior is the result of a political process within which rules are formed which prohibit or require people to behave in certain ways".
Ketika David Lewis Smith dan Kurt Weiss mengemukakan pandangannya tentang Sistem Pendekatan Terbuka dalam mempelajari viktimologi (Toward an Open-System Approach to Studies in The Field of Victimology) dan mengemukakan sebuah bagan yang menggambarkan konstruksi korban, yang terbayang dalam benak penulis adalah bagan realitas sosial kejahatan (The social reality of crime) dari Richard Quinney. Melalui pemahaman itulah maka penulis berasumsi bahwa keberadaan korban (rakyat kecil/korban massal) dalam kasus BLBI, MSAA, PKPS ini tidak lepas dari sebuah bentuk pengkonstruksian dalam bentuk kepentingan-kepentingan proses politik dan ekonomi tertentu.
Bottomly menyatakan bahwa kejahatan esensinya adalah politis dan pada saat yang sama kejahatan politik esensinya bukanlah kejahatan (all crime is essentially political and, at the sometime,that political crime is not essentially criminal). Jika kita melihat keputusan yang diambil oleh Bank Indonesia pada waktu itu untuk memberikan kredit kepada bank yang kolaps, hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik yang terjadi. Presiden waktu itu bertindak dengan arogansi sabdo pandhito ratu, di mana segala perkataannya harus dituruti, dengan kata lain Bank Indonesia tidak mempunyai kebebasan dalam menyalurkan kredit likuiditas itu. Tindakan yang dilakukan pada waktu itu bukanlah kejahatan, tetapi akibat yang timbul adalah jatuhnya korban di pihak rakyat sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Bottomly bahwa hal tersebut merupakan akbat dari proses politik yang ditentukan oleh kepentingan-kepentingan politik. Dikatakan lebih lanjut olehnya bahwa criminal law is the result of a political process whereby organized community formulate rules and lay down sanctions concerning those actions they wish to prohibit.
Berangkat dari pemikiran Quinney mengenai keberadaan kroban dalam bentuk yang lebih kritis, pemikiran Herman dan Julia Schwendinger perlu pula dikemukakan. Dalam tulisannya yang berjudul Defender of Order or Guardians of Human Rights, Herman dan Julia mengemukakan bahwa indikator yang cukup baik dalam melakukan pendefinisian kejahatan dan pelaku kejahatan tidak lain berangkat dari penalaran tentang standar etika, sebab dengan menggunakan standar etika maka beberapa bentuk perbuatan yang dapat dikonstruksikan ke dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang mengarah pada social injury. Herman dan Julia melihat bahwa proses pengkonstruksian pemahaman kejahatan tidak lain merupakan sebuah bentuk proses politik.
Melihat hal tersebut maka kepeberadaan korban pun tidak lain merupakan hasil pengkonstruksian yang tidak lain merupakan kelanjutan dari hasil pengkonstruksian kejahatan. Namun apabila kita menggunakan standar etka yang dilontarkan oleh Herman dan Julia, mana keberadaan korban pun akan mengacu pada pemahaman standar etika dan terus menerus berkembang melihat kepada perkembangan keadaan.
Keberadaan rakyat kecil sebagai korban tidak lepas dari proses pengkonstruksian oleh penguasa. Rakyat dijadikan sebagai alasan dalam penetapan kebijakan perekonomian negara tetapi yang terjadi sesungguhnya adalah rakyat dibiarkan saja nasibnya merana, pemerintah lebih banyak mengurus para pengusaha dan konglomerat. Di tambah lagi dengan adanya kewajiban untuk membantu negara dalam menanggung utang kepada negara atau lembaga keuangan lain sebagai dampak pengambilan kebijakan yang salah kaprah, kurang hati-hati dan ceroboh.
Menjadikan rakyat kecil sebagai korban memang mengundang resiko yang kecil pada tingkat permukaan, tetapi akan membesar jika sudah sampai pada titik kulminasi keberterimaan rakyat kecil. Ini dapat menjadi momentum dari makna kekuatan rakyat sekaligus momentum runtuhnya pemerintahan yang korup dan manipulistik. Dari rangkaian peristiwa di atas terlihat ada kekurangan hukum dalam menghadapi perilaku dari penguasa yang menimbulkan korban dan perlindungan terhadap korban yang bersifat massal ini. Hukum seakan-akan tidak mampu menjaring dan memidana pelaku penyalahgunaan kekuasaan, hukum hanya mampu menangkap, mengadili dan memidana penjahat-penjahat konvensional macam maling ayam dan pencopet. Padahal dari sudut kerugian dan bahaya yang ditimbulkan, perilaku penguasa seperti itu jauh lebih berbahaya jika dibandingkan dengan kejahatan warungan.
Jika saat ini korban didefinisikan secara noramtif sebagai korban kejahatan menurut hukum pidana, maka dengan memahami realitas sosial kejahatan, ruang lingkup korban tidak melulu seperti yang ditentukan dalam perarutan perundang-undangan. Tindakan pemerintah yang merugikan rakyat juga merupakan kejahatan meskipun pemerintah bertindak dengan dalih untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Itu hanyalah kamuflase dan kita sudah kenyang dengan buaian kata-kata seperti itu sehinggi kita ingin sekali memuntahkannya.
D. Simpulan
Keberadaan korban dalam pembicaraan berbagai bidang kehidupan seperti halnya dua sisi mata uang, selalu saja ada pihak yang diuntungkan atau beruntung di satu sisi. Tidak terkecuali bidang politik dan ekonomi yang sarat dengan trik dan intrik dalam mencapai tujuannya. Tindakan pemerintah yang menguntungkan para pengusaha dan konglomerat penerima BLBI menunjukkan bahwa terdapat diskriminasi dalam pola-pola penanganan kredit bermasalah yang berakibat lebih jauh timbulnya korban terhadap rakyat kecil karena perbedaan perlakuan itu. Apa yang didapat rakyat kecil jika pemerintah dalam menyelesaikan BLBI saja tak becus, tentu saja penderitaan. Bagaimana penderitaan itu berakhir bagi rakyat kecil, tentu saja jika pemerintah sudah berlaku adil terhadap mereka dan menghentikan segala aktivitas yang mengeksploitasi rakyat kecil.
Kepustakaan
Bottomly, Keith A., 1979, Criminology in Focus: Past Trends and Future Prospects, Martin Robertson, Oxford;
Herman dan Schwendinger, Julie, 1975, Defender of Order or Guardian of Human Rights? dalam Ian Taylor, Paul Walton, Jack Young (ed), Critical Criminology, Routledge and Keagan Paul, London and Boston;
Quinney, Richard, 1975, Crtitical Criminology and Critique of Crime in The United States, Little Brown and Company, Boston/Toronto;
---------------------, 1974, Who is the Victim? dalam Israel Drapkin dan Emilio Viano, Victimology, Lexington Books, Massachusset;
Raharjo, Agus, Korban Produk Makanan dan Minuman: Parah Tapi Fungsional, Makalah tidak dipublikasikan, PPS Undip, 2000;
Smith, David Lewis dan Weis, Kurt, 1976, Toward an Open-Society Approach to Studies in the Field of Victimology, dalam Emilio Viano (ed), Victim and Society, Visage Press Inc, Washington DC;
Wibowo, Drajat, Menelusuri Keruwetan Solusi BLBI dan MSAA, Republika, 13 November 2000;
Kasus BLBI, Wewenang Siapa?
A. Pendahuluan
Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara, begitulah judul sebuah buku yang ditulis oleh Marwan Batubara dkk., untuk merepresentasikan catatan hitam bangsa Indonesia. Tidak terlalu berlebihan memang jikalau kita mengingat bagaimana kasus besar ini telah merugikan bangsa ratusan triliun rupiah.
Belum selesai dengan proses peradilan yang berlarut-larut, keadaan ini diperparah dengan ditemukannya bukti tentang kasus penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan oleh Artalyta Suryani, terkait kasus aliran dana BLBI, yang secara otomatis menghilangkan legitimasi hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani kasus ini. Maka, lengkaplah sudah drama panjang kesedihan bangsa ini.
Dalam mekanisme hukum, kewenangan merupakan sistem yang diatur dalam undang-undang. Dalam kasus BLBI, Kejagung sudah jelas-jelas kehilangan legitimasinya atau paling tidak kepercayaan publik akibat terbongkarnya skandal penyuapan terkait kasus BLBI tersebut. Sementara di pihak lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap lemah secara hukum, dan masih enggan mengambil alih perkara BLBI disebabkan kekhawatiran Komisi ini melanggar asas non-retroaktif, sebab kasus ini sudah muncul jauh sebelum KPK didirikan.
B. Kronologi kasus BLBI
Kasus BLBI ini bermula lebih dari sepuluh tahun silam, ketika Indonesia menghadapi hantaman krisis moneter yang menyerang Asia pada 1997-1998 lalu. Demi alasan menyelamatkan bank-bank yang ambruk dihantam krisis, kebijakan BLBI dikeluarkan.
Tahap pertama, adalah pengucuran dana kepada 54 bank nasional yang dilakukan pada kurun waktu krisis (sekitar bulan September 1997 setelah rapat kabinet yang dipimpin oleh Soeharto memutuskan untuk memberi dana bantuan BLBI kepada pihak perbankan) hingga 29 Januari 1999 (posisi terakhir saat hak tagih BLBI dialihkan BI kepada BPPN). Meskipun, jika dirunut lebih jauh lagi, pengucuran BLBI tahap pertama ini sebenarnya telah dilakukan sejak sekitar tahun 1996 saat BI mulai memberi dispensasi kepada bank-bank yang telah bersaldo debet untuk terus mengikuti kliring. Nilai uang yang dikucurkan pada tahap awal ini sejumlah Rp 144,536 triliun.
Tahap kedua, terjadi pada kurun waktu Februari hingga Mei 1999. Ini terjadi karena BI ternyata masih mengucurkan dana BLBI kepada pihak perbankan setelah pengalihan hak tagih BLBI dari BI ke BPPN. Penyaluran BLBI diberikan dalam bentuk fasilitas saldo debet kepada sejumlah bank, baik yang berstatus BDP (Bank Dalam Penyehatan) maupun yang berstatus non-BDP. BI beralasan, penyaluran BLBI itu dilakukan karena program penyelamatan bank-bank saat itu belum selesai dilaksanakan. Sementara itu, pemerintah sendiri belum dapat menyediakan dana. Karena itulah, kebijakan penyaluran tambahan dana BLBI akhirnya dilakukan oleh BI. Jumlah tambahan BLBI ini adalah sebesar Rp 14,447 triliun.
Tahap selanjutnya adalah program penjaminan perbankan yang disebut dengan blanket guarantee. Program penjaminan perbankan ini dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 26 tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Program ini terutama dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap perbankan yang saat itu sedang terpuruk, yang ditandai dengan derasnya rush pada sejumlah bank. Melalui program ini, pemerintah menjamin pembayaran dana nasabah yang terdapat dalam bank, berapapun jumlahnya.
C. Kasus BLBI harus ditangani KPK
Ada beberapa kalangan yang setuju bahwa kasus BLBI harus ditangani oleh KPK. Di antaranya adalah Lembaga Konsultasi Badan Hukum Mahasiswa Islam Indonesia (LKBHMI) yang menilai keseriusan Kejagung patut diragukan. LKBHMI menilai kasus BLBI ini sudah sampai kepada tingkat kepentingan individu atau kelompok tertentu dan bukannya dituntaskan untuk kepentingan rakyat banyak. Selain itu, LKBHMI menilai bahwa kasus BLBI bisa diusut oleh KPK yang merupakan salah satu lembaga terdepan dalam menangani kasus korupsi di tanah air.
Sama seperti tuntutan yang dibawa LKBHMI, Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jakarta juga menginginkan agar penuntasan kasus BLBI dilimpahkan dari Kejagung kepada KPK. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan mendukung upaya KPK mengambil alih pengusutan kasus BLBI dari Kejagung. Sementara Wakil Ketua Komisi III DPR (bidang hukum) Azis Syamsudin berpendapat, KPK bisa mengambil alih penyelidikan skandal BLBI dari Kejagung apabila menemukan bukti baru. Jika mengacu pada Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 30/2002 Pasal 9 (d), KPK memang dimungkinkan untuk mengambil alih kasus BLBI, dengan catatan kejaksaan yang menangani kasus BLBI itu memang terindikasi kuat korupsi. Secara politik, DPR sebenarnya telah beberapa kali melakukan tekanan kepada Presiden untuk menuntaskan kasus tersebut.
Senada dengan itu, Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang, Satjipto Rahardjo, mendorong digunakannya kekuatan hukum secara maksimal. “Di Indonesia, di mana korupsi dengan segala bentuknya telah berurat berakar, kejahatan seperti itu haruslah dihadapi pula dengan cara luar biasa. Sepatutnya kita mencoba kekuatan produk undang-undang hingga titik terjauh atau sampai pada kekuatannya yang paling jauh,” kata Satjipto.
D. KPK lemah hukum usut kasus BLBI
Hambatan besar KPK dalam mengambil alih kasus BLBI terletak pada masalah hukum. KPK tidak dapat mengambil alih kasus yang telah diberhentikan oleh kejaksaan karena tidak didapatkan kegiatan melanggar hukum, kecuali ada bukti baru. Selain itu, hambatan lainnya, merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK secara hukum tidak bisa menangani kasus yang terjadi sebelum dirinya terbentuk. Namun jika seandainya kasus BLBI masih dalam proses dan kejaksaan menyerahkannya pada KPK, maka dapat ditangani sesuai UU KPK Nomor 30 Tahun 2002.
Hal senada juga dilontarkan oleh Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Haryono Umar. Menurutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa menangani kasus BLBI karena kasus tersebut muncul sebelum KPK terbentuk. Kekhawatiran KPK sebenarnya merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU KPK yang menyatakan penanganan tindak pidana korupsi KPK tidak boleh retroaktif (berlaku surut). Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Panjaitan, proses pengambilalihan kasus ini harus melalui adanya indikasi unsur korupsi dalam kasus BLBI dinilai sebagai faktor penentu kasus tersebut bisa ditangani KPK atau tidak. (jrah/dari berbagai sumber)

0 komentar:

Posting Komentar

Kamis, 26 November 2009

ETIKA PROFESI AKUNTANSI

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 19.01

SKANDAL BLBI
BENANG KUSUT BLBI, MSAA DAN PKPS
(Tinjauan Dari Sisi Viktimologis)
Abstrak
Kebijakan pemerintah dalam persoalan penyelesaian kredit likuiditas Bank Indonesia ternyata memakan banyak korban. Penyelesesaian kredit likuiditas melalui MSAA, MRA dan PKPS ternyata sampai sekarang belum menampakkan titik terang keberhasilan bahkan cenderung hanya menjadi perdebatan saja. Tindakan penguasa/pemerintah yang cenderung membantu dan melindungi para penerima BLBI menunjukkan bahwa komitmen memperjuangkan nasib rakyat kecil patut untuk dipertanyakan. Tindakan penguasa yang demikian menimbulkan korban yaitu rakyat kecil yang sebenarnya tidak tahu apa-apa dan hal ini akan terus berlanjut jika pemerintah terus melakukan misbruik van macht.
A. Pendahuluan
Dalam lima tahun terakhir ini kehidupan bangsa Indonesia dipenuhi dengan dinamika yang menjadikan negeri ini karya warna. Tonggak yang dapat dipegang dan penuh harapan sebenarnya timbul ketika terjadi gerakan reformasi pada 1998 dengan momentum utamanya adalah turunnya Presiden Suharto. Berbagai harapan untuk memperbaiki hidup atau membuat hidup lebih hidup atau lebibi baik dikumandangkan seperti paduan suara yang nyaring terdengar. Ketika harapan untuk hidup lebih baik didendangkan dan lagi ninabobo dihentikan, para politisi malah sibuk membangun jaringan komunikasi untuk membentuk dan menjaring kekuasaan yang sangat mudah didapatkan.
Harapan untuk memperbaiki hidup rakyat sangat menggebu-gebu meskipun keadaan ekonomi sebenarnya sangat parah. Keadaan ini sama dengan anak muda yang sedang naik libidonya tetapi tidak mempunyai kemampuan atau keberanian mental dan finansial untuk menunjang libidonya itu. Hal ini diperkuat dengan ambisi para politisi yang selalu membuai rakyat dengan kata-kata manis (dan beracun) untuk selalu membela rakyat kecil (kawulo alit) padahal mereka sendiri tidak tahu siapakah rakyat kecil itu sebenarnya. Inilah yang disebut dengan pseudo-science atau pengetahuan yang semu tentang rakyat kecil dan keadaan ini akan tetap berlangsung karena rakyat kecil merupakan komoditas yang mempunyai nilai jual yang tinggi baik secara ekonomis maupun politis.
Pada saat euforia reformasi waktu itu, banyak kalangan dibalut dengan harapan dan hasrat untuk memperbaiki hidup. Dengan logika hasrat yang sederhana mereka berusaha membangun harapan-harapan itu dapat segera terwujud. Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya karena hasrat-hasrat tersebut tidak ditangani dengan manajemen hasrat sehingga yang terjadi tidak seperti yang diharapkan melainkan apa yang tidak diharapkan.
Sekarang keadaannya tidaklah berubah, artinya meskipun pemerintah-annya sudah berganti tetapi elit politik dan penguasa tetap cakar-cakaran memperebutkan kue kekuasaan, tidak saling mendukung bahkan saling menjatuhkan. Keadaan ekonomi yang digadang-gadang akan membaik berdasarkan prediksi para ahli ekonomi sampai paranormal/supranatural, keadaannya tidaklah berubah. Rakyat (terutama rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak) yang tidak mengetahui dinamika dan permainan politik menjadi bingung dibuatnya. Mereka tidak sadar bahwa mereka adalah korban ambisi, korban politik, korban hasrat dan pemenuhan libido yang menggebu-gebu di dada para politisi.
Ketika keadaan ekonomi tidak juga berangsur membaik, otoritas moneter justru membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha besar atau konglomerat dengan mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Langkah ini terbukti tidak efektif karena para konglomerat itu ingkar janji dan tidak mengembalikan bantuan likuiditas itu sedangkan penyelesaian melalui prosedur Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing Agreement (MRA) tidak kunjung usai.
Hal ini ditambah lagi dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang sekali lagi menunjukkan niat otoritas moneter untuk membuat pengusaha dan konglomerat yang tersangkut di dalamnya keenakan. Meskipun PKPS akhirnya batal diperpanjang tetapi hal ini sudah cukup menunjukkan bahwa niat memperpanjang PKPS bukanlah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan para pengusaha, konglomerat dan kepentingan politik penguasa.
Berbagai kejadian dapat dirunut dari awal reformasi sampai sekarang, tetapi benang merah yang hendak ditonjolkan dalam tulisan ini adalah nasib rakyat kecil yang kerap kali terabaikan oleh dentuman ambisi politik dan ekonomi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Rakyat yang kehidupan ekonominya mengalami kesulitan makin dibikin bingung dengan berbagai manuver politik yang dibuat oleh para politisi, ekonom, pengusaha dan juga para kriminal ataupun mereka-mereka yang berbaju necis tetapi sebenarnya adalah kriminal. Keadaan rakyat sudah sangat memprihatinkan ditambah dengan sikap penguasa yang sering paradoksal dalam membuat kebijakan tentang rakyat kecil. Kondisi rakyat ini dapat diibaratkan seperti sudah jatuh tertimpa tangga, sudah terluka terkena asam cuka pula. Uraian berikut ini akan menyoroti beberapa peristiwa yang menimbulkan kerugian atau korban di pihak rakyat baik yang secara langsung dirasakan pada saat itu maupun yang tidak dirasakan pada saat ini meskipun akhirnya mereka akan merasakannya di kemudian hari.
B. BLBI, MSAA dan PKPS: Benang Kusut yang Kontroversial
Untuk melihat kekusutan masalah ini, penulis akan menggunakan pendekatan teori permainan (game theoru) sederhana agar mudah dipahami. Untuk itu secara singkat akan disinggung kronologi peristiwa ini. Sesuai dengan perannya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia dapat memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas (mismatch). Pada Desember 1996, bantuan likuiditas yang disalurkan oleh Bank Indonesia hanya Rp. 371 miliar dan sebulan sebelum krisis (Juni 1997) posisi BLBI sebesar Rp. 1,2 triliun. Pada bulan Juli 1997 (awal krisis) posisi BLBI hanya bergerak sedikit menjadi 1,4 triliun. Setelah bulan Juli 1997, posisi BLBI terus mengalami kenaikan apalagi setelah rejim krus bebas diterapkan pada Agustus 1997. Waktu itu Presiden Soeharto memberikan arahan agar tidak melikuidasi bank selama periode antara Pemilu 1997 sampai Sidang Umum MPR Maret 1998. Oleh rapat Direksi Bank Indonesia, 15 Agustus 1997, pengarahan presiden itu diterjemahkan dalam bentuk dispensasi terhadap sanksi skorsing kliring bagi bank-bank yang kalah kliring. Keputusan ini diikuti dengan kenalikan penyaluran BLBI sebesar Rp. 4 triliun hingga posisinya menjadi Rp. 5,2 triliun pada awal September 1997. Oktober 1997 posisi BLBI naik menjadi Rp. 8,6 triliun sebagai akibat tindak lanjut Sidang Kabinet Ekkuwasbang dan Prodis yang membutuhkan memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank sehat yang mengalami mismatch.
Kebijakan ini memberikan legitimasi kepada Bank Indonesia (yang masih menjadi bagian dari Pemerintah) untuk menyalurkan bantuan likuiditas. Sampai di sini pertumbuhan BLBI selama empat bulan pertama masa krisis tidak menunjukkan lonjakan yang sangat fantastis. Perubahan yang sangat luar biasa terjadi setelah pemerintah melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997. Posisi BLBI naik menjadi Rp. 32 triliun hanya dalam waktu sebulan. Jumlah penerima BLBI pun naik dari 131 menjadi 164 bank. Hingga akhir Desember 1997 posisi BLBI yang disalurkan sudah mencapai 47,1 triliun. Pada 27 Desember 1997 berdasarkan disposisi Presiden Suharto atas Surat Gubernur BI tanggal 26 Desember 1997, Mensesneg Moerdiono membuat surat No. R-183/M.Sesneg/12/1997 menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Sebelumnya (9 Desember 1997) Direksi Bank Danamon menemui Direksi BI, di mana disetujui SBPUK senilai Rp. 6 triliun bagi bank itu.
Untuk menyelesaikan krisis yang terjadi, Pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF. Untuk itu ditanda tangani Letter of Intent dengan IMF pada 15 Januari 1998. Di sini pemerintah berencana memberikan jaminan atas deposito (blanket guaranteei) dan diputuskan melalui Keppres No, 26/1998 tanggal 26 Januari 1998. Akibatnya selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp. 103 triliun, artinya situasi rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI melonjak sangat besar.
Maret 1998 Badan Penyebatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan dan menerima pengalihan 54 bank dari BI. Langkah ini justru diikuti dengan rush lanjutan dalam situasi likuidasi ketat pada April 1998. Selama Maret-April nilai BLBI melonjal dari Rp. 31 triliun menjadi hampir Rp. 135 triliun. Selama April September 1998 saldo negatif bank-bank di bawah BPPN justru terus naik. Kerusuhan Mei dan runtuhnya Suharto menyebabkan BCA dirush sehingga BCA memperoleh BLBI dalam tiga tahap pada Mei-Juni dengan total Rp. 35 triliun.
Selama periode Juni-September 1998 BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA yang kemudian ditanda tangani 21 September 1998. Kesepakatan akhir yang memuat release and discharge dcapai 9-10 bulan kemudian, yaitu Mei 1999 (dengan BDNI) dan Juni/Juli 1999 (dengan BCA). Dari kronologi di atas, menurut Dradjat Wibowo dengan menggunakan teori permainan dapatlah dikatakan bahwa penyaluran BLBI ini tidak lebih dari peristiwa transaksi biasa yang menjadi ruwet karena salah satu pihak mengeksploitasi set informasi miliknya lebih baik dari pihak lainnya, seperti nilai aset yang diserahkan. Jadi ada unsur tidak adanya good faith dari salah satu pihak, yaitu bank-bank penerima BLBI. Dapat diibaratkan secara sederhana pemerintah sebagai atasan Bank Indonesia, secara langsung dan tidak langsung menugaskan Bank Indonesia untuk memberikan BLBI (utang) kepada bank atau konglomerat nakal. Sayangnya pemerintah dan Bank Indonesia tidak membuat sistem penyaluran dan pengawasan hutang yang memadai, sehingga memperbesar peluang bagi bank atau konglomerat nakal untuk mengeksploitasi moral hazard. Lebih dari itu pemerintah dan Bank Indonesia tidak mempunyai set informasi yang cukup serta mekanisme insentif dan sanksi yang efektif yang dapat menjamin bank atau konglomerat nakal akan mengembalikan seluruh utangnya.
Tanpa terlalu banyak menggunakan istilah teknis dalam teori permainan, Dradjat Wibowo melihat ada tiga kecacatan dalam permainan tersebut. Pertama, kecacatan sebelum transfer barang dan uang dilakukan. Syarat dari satu pertukaran yang optimal adalah adanya kontrak ex ante, di mana seluruh hak dan kewajiban setiap pemain disebutkan secara rinci. Dalam kontek BLBI seharusnya kontrak ex ante ini menyebutkan mekanisme penyaluran, pengawasan dan pembayaran kembali dengan detail. Ternyata pejabat pemerintah dan BI saat itu termasuk Presiden, Menkeu, Gubernur dan Direksi BI yang mengetahui penyaluran BLBI tidak menyiapkan kontrak ex ante secara memadai.
Kedua, adanya pemisahan lembaga penyalur (BI) dengan lembaga penarik kembali (BPPN). Tanpa ada wanprestasi apapun pemisahan ini jelas dapat menimbulkan kondisi saling melempar kesalahan, apalagi ternyata pejabat atau pegawai BPPN memperoleh insentif finansial untuk setiap aset yang dijual. Dalam kondisi ini BPPN lebih termotivasi untuk penyelesaian dan penjualan aset daripada pengembalian BLBI secara adil. Hasilnya adalah skema MSAA yang sangat menguntungkan konglomerat penerima BLBI.
Ketiga, diabaikannya unsur biaya komunikasi dan informasi dalam permainan di atas. Secara teoritis biaya komunikasi dan informasi ini bisa menganggu tercapainya solusi optimal. Ternyata BPPN hanya menyerahkan hal ini kepada konsultannya terutama untuk melakukan penilaian aset. Tidak ada kewajiban transparansi bagi debitur penerima BLBI dan tidak ada mekanisme untuk menjamin nilai rupiah aset itu sama dana akan tetap sama dengan nilai BLBI yang diterima (prinsip dollar-to-dollar)
Dalam kondisi seperti itu secara teoritis strategis yang paling optimal bagi bank penerima BLBI adalah memaksimalkan selisih antara nilai BLBI dengan nilai aset yang diserahkan. Dengan berbagai teknik rekayasa finansial, selisih tersebut bisa ditransfer ke luar negeri, kemudian dibelikan dolar sebagai modal untuk menguasai asetnya kembali. Jadi apa yang dilakukan oleh bank atau konglomerat nakal itu sebenarnya sudah sesuai teori. Memang dalam teori dikenal sebuah Walrasian Tatonnement, di mana kontrak masih bisa direnogosiasikan sehingga sebuah equilibrium yang memuaskan semua pihak bisa dicapai. Tetapi equilibrium itu tidak akan tercapai kalau salah satu pemain melakukan boikot (blocking).
Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa BPPN sesungguhnya adalah pemain kunci dalam segala keruwetan penyelesaian BLBI. Cacat kedua dan ketiga dari pertukaran di atas tidaklah lepas dari peranan BPPN. Bahkan kalau MSAA ditafsirkan sebagai sebuat Walrasian tatonnement maka kegagalan BPPB dalam memastikan nilai rupiah BLBI sama dengan nilai rupiah dari aset yang diserahkan merupakan bentuk lain dari cacat pertama.
Lebih parahnya cacat pertama pemerintah dan BI tersebut belum mempunyai kekuatan hukum, tetapi dalam cacat pertama yang dilakukan oleh BPPN justru mempunyai kekuatan hukum yang merugikan negara.


C. Keberadaan Korban sebagai Hasil Konstruksi Sosial
Masyarakat yang tidak banyak tahu mengenai perubahan politik dan ekonomi makro sebenarnya menjadi korban dari tinakan para penguaasa (pemerintah, Bank Indonesia dan BPPN) dan pengusaha atau konglomerat nakal yang mempermainkan kredit likuiditas. Dalam konteks viktimologi (terutama new victimology), apa yang dirasakan oleh rakyat dapat dikelompokkan sebagai korban penyalahgunaan kekuasaan politik dan ekonomi. Apa yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya bersifat politis dan konsep kejahatan itu sendiri dapat juga didasarkan pada aspek politis seperti dikatakan oleh Chambliss, "What gets defined as criminal or delinquent behavior is the result of a political process within which rules are formed which prohibit or require people to behave in certain ways".
Ketika David Lewis Smith dan Kurt Weiss mengemukakan pandangannya tentang Sistem Pendekatan Terbuka dalam mempelajari viktimologi (Toward an Open-System Approach to Studies in The Field of Victimology) dan mengemukakan sebuah bagan yang menggambarkan konstruksi korban, yang terbayang dalam benak penulis adalah bagan realitas sosial kejahatan (The social reality of crime) dari Richard Quinney. Melalui pemahaman itulah maka penulis berasumsi bahwa keberadaan korban (rakyat kecil/korban massal) dalam kasus BLBI, MSAA, PKPS ini tidak lepas dari sebuah bentuk pengkonstruksian dalam bentuk kepentingan-kepentingan proses politik dan ekonomi tertentu.
Bottomly menyatakan bahwa kejahatan esensinya adalah politis dan pada saat yang sama kejahatan politik esensinya bukanlah kejahatan (all crime is essentially political and, at the sometime,that political crime is not essentially criminal). Jika kita melihat keputusan yang diambil oleh Bank Indonesia pada waktu itu untuk memberikan kredit kepada bank yang kolaps, hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik yang terjadi. Presiden waktu itu bertindak dengan arogansi sabdo pandhito ratu, di mana segala perkataannya harus dituruti, dengan kata lain Bank Indonesia tidak mempunyai kebebasan dalam menyalurkan kredit likuiditas itu. Tindakan yang dilakukan pada waktu itu bukanlah kejahatan, tetapi akibat yang timbul adalah jatuhnya korban di pihak rakyat sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Bottomly bahwa hal tersebut merupakan akbat dari proses politik yang ditentukan oleh kepentingan-kepentingan politik. Dikatakan lebih lanjut olehnya bahwa criminal law is the result of a political process whereby organized community formulate rules and lay down sanctions concerning those actions they wish to prohibit.
Berangkat dari pemikiran Quinney mengenai keberadaan kroban dalam bentuk yang lebih kritis, pemikiran Herman dan Julia Schwendinger perlu pula dikemukakan. Dalam tulisannya yang berjudul Defender of Order or Guardians of Human Rights, Herman dan Julia mengemukakan bahwa indikator yang cukup baik dalam melakukan pendefinisian kejahatan dan pelaku kejahatan tidak lain berangkat dari penalaran tentang standar etika, sebab dengan menggunakan standar etika maka beberapa bentuk perbuatan yang dapat dikonstruksikan ke dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang mengarah pada social injury. Herman dan Julia melihat bahwa proses pengkonstruksian pemahaman kejahatan tidak lain merupakan sebuah bentuk proses politik.
Melihat hal tersebut maka kepeberadaan korban pun tidak lain merupakan hasil pengkonstruksian yang tidak lain merupakan kelanjutan dari hasil pengkonstruksian kejahatan. Namun apabila kita menggunakan standar etka yang dilontarkan oleh Herman dan Julia, mana keberadaan korban pun akan mengacu pada pemahaman standar etika dan terus menerus berkembang melihat kepada perkembangan keadaan.
Keberadaan rakyat kecil sebagai korban tidak lepas dari proses pengkonstruksian oleh penguasa. Rakyat dijadikan sebagai alasan dalam penetapan kebijakan perekonomian negara tetapi yang terjadi sesungguhnya adalah rakyat dibiarkan saja nasibnya merana, pemerintah lebih banyak mengurus para pengusaha dan konglomerat. Di tambah lagi dengan adanya kewajiban untuk membantu negara dalam menanggung utang kepada negara atau lembaga keuangan lain sebagai dampak pengambilan kebijakan yang salah kaprah, kurang hati-hati dan ceroboh.
Menjadikan rakyat kecil sebagai korban memang mengundang resiko yang kecil pada tingkat permukaan, tetapi akan membesar jika sudah sampai pada titik kulminasi keberterimaan rakyat kecil. Ini dapat menjadi momentum dari makna kekuatan rakyat sekaligus momentum runtuhnya pemerintahan yang korup dan manipulistik. Dari rangkaian peristiwa di atas terlihat ada kekurangan hukum dalam menghadapi perilaku dari penguasa yang menimbulkan korban dan perlindungan terhadap korban yang bersifat massal ini. Hukum seakan-akan tidak mampu menjaring dan memidana pelaku penyalahgunaan kekuasaan, hukum hanya mampu menangkap, mengadili dan memidana penjahat-penjahat konvensional macam maling ayam dan pencopet. Padahal dari sudut kerugian dan bahaya yang ditimbulkan, perilaku penguasa seperti itu jauh lebih berbahaya jika dibandingkan dengan kejahatan warungan.
Jika saat ini korban didefinisikan secara noramtif sebagai korban kejahatan menurut hukum pidana, maka dengan memahami realitas sosial kejahatan, ruang lingkup korban tidak melulu seperti yang ditentukan dalam perarutan perundang-undangan. Tindakan pemerintah yang merugikan rakyat juga merupakan kejahatan meskipun pemerintah bertindak dengan dalih untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Itu hanyalah kamuflase dan kita sudah kenyang dengan buaian kata-kata seperti itu sehinggi kita ingin sekali memuntahkannya.
D. Simpulan
Keberadaan korban dalam pembicaraan berbagai bidang kehidupan seperti halnya dua sisi mata uang, selalu saja ada pihak yang diuntungkan atau beruntung di satu sisi. Tidak terkecuali bidang politik dan ekonomi yang sarat dengan trik dan intrik dalam mencapai tujuannya. Tindakan pemerintah yang menguntungkan para pengusaha dan konglomerat penerima BLBI menunjukkan bahwa terdapat diskriminasi dalam pola-pola penanganan kredit bermasalah yang berakibat lebih jauh timbulnya korban terhadap rakyat kecil karena perbedaan perlakuan itu. Apa yang didapat rakyat kecil jika pemerintah dalam menyelesaikan BLBI saja tak becus, tentu saja penderitaan. Bagaimana penderitaan itu berakhir bagi rakyat kecil, tentu saja jika pemerintah sudah berlaku adil terhadap mereka dan menghentikan segala aktivitas yang mengeksploitasi rakyat kecil.
Kepustakaan
Bottomly, Keith A., 1979, Criminology in Focus: Past Trends and Future Prospects, Martin Robertson, Oxford;
Herman dan Schwendinger, Julie, 1975, Defender of Order or Guardian of Human Rights? dalam Ian Taylor, Paul Walton, Jack Young (ed), Critical Criminology, Routledge and Keagan Paul, London and Boston;
Quinney, Richard, 1975, Crtitical Criminology and Critique of Crime in The United States, Little Brown and Company, Boston/Toronto;
---------------------, 1974, Who is the Victim? dalam Israel Drapkin dan Emilio Viano, Victimology, Lexington Books, Massachusset;
Raharjo, Agus, Korban Produk Makanan dan Minuman: Parah Tapi Fungsional, Makalah tidak dipublikasikan, PPS Undip, 2000;
Smith, David Lewis dan Weis, Kurt, 1976, Toward an Open-Society Approach to Studies in the Field of Victimology, dalam Emilio Viano (ed), Victim and Society, Visage Press Inc, Washington DC;
Wibowo, Drajat, Menelusuri Keruwetan Solusi BLBI dan MSAA, Republika, 13 November 2000;
Kasus BLBI, Wewenang Siapa?
A. Pendahuluan
Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara, begitulah judul sebuah buku yang ditulis oleh Marwan Batubara dkk., untuk merepresentasikan catatan hitam bangsa Indonesia. Tidak terlalu berlebihan memang jikalau kita mengingat bagaimana kasus besar ini telah merugikan bangsa ratusan triliun rupiah.
Belum selesai dengan proses peradilan yang berlarut-larut, keadaan ini diperparah dengan ditemukannya bukti tentang kasus penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan oleh Artalyta Suryani, terkait kasus aliran dana BLBI, yang secara otomatis menghilangkan legitimasi hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani kasus ini. Maka, lengkaplah sudah drama panjang kesedihan bangsa ini.
Dalam mekanisme hukum, kewenangan merupakan sistem yang diatur dalam undang-undang. Dalam kasus BLBI, Kejagung sudah jelas-jelas kehilangan legitimasinya atau paling tidak kepercayaan publik akibat terbongkarnya skandal penyuapan terkait kasus BLBI tersebut. Sementara di pihak lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap lemah secara hukum, dan masih enggan mengambil alih perkara BLBI disebabkan kekhawatiran Komisi ini melanggar asas non-retroaktif, sebab kasus ini sudah muncul jauh sebelum KPK didirikan.
B. Kronologi kasus BLBI
Kasus BLBI ini bermula lebih dari sepuluh tahun silam, ketika Indonesia menghadapi hantaman krisis moneter yang menyerang Asia pada 1997-1998 lalu. Demi alasan menyelamatkan bank-bank yang ambruk dihantam krisis, kebijakan BLBI dikeluarkan.
Tahap pertama, adalah pengucuran dana kepada 54 bank nasional yang dilakukan pada kurun waktu krisis (sekitar bulan September 1997 setelah rapat kabinet yang dipimpin oleh Soeharto memutuskan untuk memberi dana bantuan BLBI kepada pihak perbankan) hingga 29 Januari 1999 (posisi terakhir saat hak tagih BLBI dialihkan BI kepada BPPN). Meskipun, jika dirunut lebih jauh lagi, pengucuran BLBI tahap pertama ini sebenarnya telah dilakukan sejak sekitar tahun 1996 saat BI mulai memberi dispensasi kepada bank-bank yang telah bersaldo debet untuk terus mengikuti kliring. Nilai uang yang dikucurkan pada tahap awal ini sejumlah Rp 144,536 triliun.
Tahap kedua, terjadi pada kurun waktu Februari hingga Mei 1999. Ini terjadi karena BI ternyata masih mengucurkan dana BLBI kepada pihak perbankan setelah pengalihan hak tagih BLBI dari BI ke BPPN. Penyaluran BLBI diberikan dalam bentuk fasilitas saldo debet kepada sejumlah bank, baik yang berstatus BDP (Bank Dalam Penyehatan) maupun yang berstatus non-BDP. BI beralasan, penyaluran BLBI itu dilakukan karena program penyelamatan bank-bank saat itu belum selesai dilaksanakan. Sementara itu, pemerintah sendiri belum dapat menyediakan dana. Karena itulah, kebijakan penyaluran tambahan dana BLBI akhirnya dilakukan oleh BI. Jumlah tambahan BLBI ini adalah sebesar Rp 14,447 triliun.
Tahap selanjutnya adalah program penjaminan perbankan yang disebut dengan blanket guarantee. Program penjaminan perbankan ini dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 26 tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Program ini terutama dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap perbankan yang saat itu sedang terpuruk, yang ditandai dengan derasnya rush pada sejumlah bank. Melalui program ini, pemerintah menjamin pembayaran dana nasabah yang terdapat dalam bank, berapapun jumlahnya.
C. Kasus BLBI harus ditangani KPK
Ada beberapa kalangan yang setuju bahwa kasus BLBI harus ditangani oleh KPK. Di antaranya adalah Lembaga Konsultasi Badan Hukum Mahasiswa Islam Indonesia (LKBHMI) yang menilai keseriusan Kejagung patut diragukan. LKBHMI menilai kasus BLBI ini sudah sampai kepada tingkat kepentingan individu atau kelompok tertentu dan bukannya dituntaskan untuk kepentingan rakyat banyak. Selain itu, LKBHMI menilai bahwa kasus BLBI bisa diusut oleh KPK yang merupakan salah satu lembaga terdepan dalam menangani kasus korupsi di tanah air.
Sama seperti tuntutan yang dibawa LKBHMI, Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jakarta juga menginginkan agar penuntasan kasus BLBI dilimpahkan dari Kejagung kepada KPK. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan mendukung upaya KPK mengambil alih pengusutan kasus BLBI dari Kejagung. Sementara Wakil Ketua Komisi III DPR (bidang hukum) Azis Syamsudin berpendapat, KPK bisa mengambil alih penyelidikan skandal BLBI dari Kejagung apabila menemukan bukti baru. Jika mengacu pada Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 30/2002 Pasal 9 (d), KPK memang dimungkinkan untuk mengambil alih kasus BLBI, dengan catatan kejaksaan yang menangani kasus BLBI itu memang terindikasi kuat korupsi. Secara politik, DPR sebenarnya telah beberapa kali melakukan tekanan kepada Presiden untuk menuntaskan kasus tersebut.
Senada dengan itu, Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang, Satjipto Rahardjo, mendorong digunakannya kekuatan hukum secara maksimal. “Di Indonesia, di mana korupsi dengan segala bentuknya telah berurat berakar, kejahatan seperti itu haruslah dihadapi pula dengan cara luar biasa. Sepatutnya kita mencoba kekuatan produk undang-undang hingga titik terjauh atau sampai pada kekuatannya yang paling jauh,” kata Satjipto.
D. KPK lemah hukum usut kasus BLBI
Hambatan besar KPK dalam mengambil alih kasus BLBI terletak pada masalah hukum. KPK tidak dapat mengambil alih kasus yang telah diberhentikan oleh kejaksaan karena tidak didapatkan kegiatan melanggar hukum, kecuali ada bukti baru. Selain itu, hambatan lainnya, merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK secara hukum tidak bisa menangani kasus yang terjadi sebelum dirinya terbentuk. Namun jika seandainya kasus BLBI masih dalam proses dan kejaksaan menyerahkannya pada KPK, maka dapat ditangani sesuai UU KPK Nomor 30 Tahun 2002.
Hal senada juga dilontarkan oleh Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Haryono Umar. Menurutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa menangani kasus BLBI karena kasus tersebut muncul sebelum KPK terbentuk. Kekhawatiran KPK sebenarnya merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU KPK yang menyatakan penanganan tindak pidana korupsi KPK tidak boleh retroaktif (berlaku surut). Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Panjaitan, proses pengambilalihan kasus ini harus melalui adanya indikasi unsur korupsi dalam kasus BLBI dinilai sebagai faktor penentu kasus tersebut bisa ditangani KPK atau tidak. (jrah/dari berbagai sumber)

0 komentar on "ETIKA PROFESI AKUNTANSI"

Posting Komentar