Nama qu rita...sekarang aku duduk di semester 7 jurusan akuntansi yang pasti dikampus tercinta Universitas Gunadarma. Sejak dulu begitu banyak impian yang ingin sekali saya capai....tapi kalo terlalu banyak repot juga ya.....tapi itu tidak jadi masalah kan hanya impian, bisa saja terwujud atau berusaha untuk diwujudkan. Sejak dulu...saya ingin menggapai semua impian saya, apapun dilakukan untuk mencapai itu semua. Kita mulai ya....
1. Pada semester ini, saya ingin mendapatkan nilai yang terbaik...ya walaupun bukan IPK yang tertinggi, minimal saya dapat mempertahankan IPK saya yang lalu.
2. Pada semester 8 nanti saya ingin sekali mendapat SK Skripsi....saya dapat Dosen Pembimbing yang baik, dan dapat selalu memudahkan saya dalam menulis skripsi. Dan tidak lupa...lancar pula pas saat sidang nanti....semoga Dosen Pengujinya itu tidak bertanya yang susah-susah...ya...walupun susah tapi saya bisa menjawab pertanyaan tersebut.
3. Yang ketiga ini...saya tidak muluk-muluk lah...saya hanya ingin lulus tepat waktu...dapat gelar Sarjana Ekonomi dalam waktu yang telah ditentukan. Tidak perlu IPK tertinggi...tapi lulus!!!!!
4. Setelah lulus saya ingin keahlian saya ini bisa diterima dan diterapkan di masyarakat...saya ingin bekerja diperusahaan pemerintah...ya BUMN lah...seperti di Dirjen Pajak....itu yang sangat menjadi acuan saya...PLN...Pertamina....Bank Indonesia...!!!! atau di Departemen-Departemen gitu...jadi PNS donk....!!!!!! memang itu yang saya mau......!!!!!!
Kebijakan pemerintah dalam persoalan penyelesaian kredit likuiditas Bank Indonesia ternyata memakan banyak korban. Penyelesesaian kredit likuiditas melalui MSAA, MRA dan PKPS ternyata sampai sekarang belum menampakkan titik terang keberhasilan bahkan cenderung hanya menjadi perdebatan saja. Tindakan penguasa/pemerintah yang cenderung membantu dan melindungi para penerima BLBI menunjukkan bahwa komitmen memperjuangkan nasib rakyat kecil patut untuk dipertanyakan. Tindakan penguasa yang demikian menimbulkan korban yaitu rakyat kecil yang sebenarnya tidak tahu apa-apa dan hal ini akan terus berlanjut jika pemerintah terus melakukan misbruik van macht.
A. Pendahuluan
Dalam lima tahun terakhir ini kehidupan bangsa Indonesia dipenuhi dengan dinamika yang menjadikan negeri ini karya warna. Tonggak yang dapat dipegang dan penuh harapan sebenarnya timbul ketika terjadi gerakan reformasi pada 1998 dengan momentum utamanya adalah turunnya Presiden Suharto. Berbagai harapan untuk memperbaiki hidup atau membuat hidup lebih hidup atau lebibi baik dikumandangkan seperti paduan suara yang nyaring terdengar. Ketika harapan untuk hidup lebih baik didendangkan dan lagi ninabobo dihentikan, para politisi malah sibuk membangun jaringan komunikasi untuk membentuk dan menjaring kekuasaan yang sangat mudah didapatkan.
Harapan untuk memperbaiki hidup rakyat sangat menggebu-gebu meskipun keadaan ekonomi sebenarnya sangat parah. Keadaan ini sama dengan anak muda yang sedang naik libidonya tetapi tidak mempunyai kemampuan atau keberanian mental dan finansial untuk menunjang libidonya itu. Hal ini diperkuat dengan ambisi para politisi yang selalu membuai rakyat dengan kata-kata manis (dan beracun) untuk selalu membela rakyat kecil (kawulo alit) padahal mereka sendiri tidak tahu siapakah rakyat kecil itu sebenarnya. Inilah yang disebut dengan pseudo-science atau pengetahuan yang semu tentang rakyat kecil dan keadaan ini akan tetap berlangsung karena rakyat kecil merupakan komoditas yang mempunyai nilai jual yang tinggi baik secara ekonomis maupun politis.
Pada saat euforia reformasi waktu itu, banyak kalangan dibalut dengan harapan dan hasrat untuk memperbaiki hidup. Dengan logika hasrat yang sederhana mereka berusaha membangun harapan-harapan itu dapat segera terwujud. Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya karena hasrat-hasrat tersebut tidak ditangani dengan manajemen hasrat sehingga yang terjadi tidak seperti yang diharapkan melainkan apa yang tidak diharapkan.
Sekarang keadaannya tidaklah berubah, artinya meskipun pemerintah-annya sudah berganti tetapi elit politik dan penguasa tetap cakar-cakaran memperebutkan kue kekuasaan, tidak saling mendukung bahkan saling menjatuhkan. Keadaan ekonomi yang digadang-gadang akan membaik berdasarkan prediksi para ahli ekonomi sampai paranormal/supranatural, keadaannya tidaklah berubah. Rakyat (terutama rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak) yang tidak mengetahui dinamika dan permainan politik menjadi bingung dibuatnya. Mereka tidak sadar bahwa mereka adalah korban ambisi, korban politik, korban hasrat dan pemenuhan libido yang menggebu-gebu di dada para politisi.
Ketika keadaan ekonomi tidak juga berangsur membaik, otoritas moneter justru membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha besar atau konglomerat dengan mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Langkah ini terbukti tidak efektif karena para konglomerat itu ingkar janji dan tidak mengembalikan bantuan likuiditas itu sedangkan penyelesaian melalui prosedur Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing Agreement (MRA) tidak kunjung usai.
Hal ini ditambah lagi dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang sekali lagi menunjukkan niat otoritas moneter untuk membuat pengusaha dan konglomerat yang tersangkut di dalamnya keenakan. Meskipun PKPS akhirnya batal diperpanjang tetapi hal ini sudah cukup menunjukkan bahwa niat memperpanjang PKPS bukanlah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan para pengusaha, konglomerat dan kepentingan politik penguasa.
Berbagai kejadian dapat dirunut dari awal reformasi sampai sekarang, tetapi benang merah yang hendak ditonjolkan dalam tulisan ini adalah nasib rakyat kecil yang kerap kali terabaikan oleh dentuman ambisi politik dan ekonomi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Rakyat yang kehidupan ekonominya mengalami kesulitan makin dibikin bingung dengan berbagai manuver politik yang dibuat oleh para politisi, ekonom, pengusaha dan juga para kriminal ataupun mereka-mereka yang berbaju necis tetapi sebenarnya adalah kriminal. Keadaan rakyat sudah sangat memprihatinkan ditambah dengan sikap penguasa yang sering paradoksal dalam membuat kebijakan tentang rakyat kecil. Kondisi rakyat ini dapat diibaratkan seperti sudah jatuh tertimpa tangga, sudah terluka terkena asam cuka pula. Uraian berikut ini akan menyoroti beberapa peristiwa yang menimbulkan kerugian atau korban di pihak rakyat baik yang secara langsung dirasakan pada saat itu maupun yang tidak dirasakan pada saat ini meskipun akhirnya mereka akan merasakannya di kemudian hari.
B. BLBI, MSAA dan PKPS: Benang Kusut yang Kontroversial
Untuk melihat kekusutan masalah ini, penulis akan menggunakan pendekatan teori permainan (game theoru) sederhana agar mudah dipahami. Untuk itu secara singkat akan disinggung kronologi peristiwa ini. Sesuai dengan perannya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia dapat memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas (mismatch). Pada Desember 1996, bantuan likuiditas yang disalurkan oleh Bank Indonesia hanya Rp. 371 miliar dan sebulan sebelum krisis (Juni 1997) posisi BLBI sebesar Rp. 1,2 triliun. Pada bulan Juli 1997 (awal krisis) posisi BLBI hanya bergerak sedikit menjadi 1,4 triliun. Setelah bulan Juli 1997, posisi BLBI terus mengalami kenaikan apalagi setelah rejim krus bebas diterapkan pada Agustus 1997. Waktu itu Presiden Soeharto memberikan arahan agar tidak melikuidasi bank selama periode antara Pemilu 1997 sampai Sidang Umum MPR Maret 1998. Oleh rapat Direksi Bank Indonesia, 15 Agustus 1997, pengarahan presiden itu diterjemahkan dalam bentuk dispensasi terhadap sanksi skorsing kliring bagi bank-bank yang kalah kliring. Keputusan ini diikuti dengan kenalikan penyaluran BLBI sebesar Rp. 4 triliun hingga posisinya menjadi Rp. 5,2 triliun pada awal September 1997. Oktober 1997 posisi BLBI naik menjadi Rp. 8,6 triliun sebagai akibat tindak lanjut Sidang Kabinet Ekkuwasbang dan Prodis yang membutuhkan memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank sehat yang mengalami mismatch.
Kebijakan ini memberikan legitimasi kepada Bank Indonesia (yang masih menjadi bagian dari Pemerintah) untuk menyalurkan bantuan likuiditas. Sampai di sini pertumbuhan BLBI selama empat bulan pertama masa krisis tidak menunjukkan lonjakan yang sangat fantastis. Perubahan yang sangat luar biasa terjadi setelah pemerintah melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997. Posisi BLBI naik menjadi Rp. 32 triliun hanya dalam waktu sebulan. Jumlah penerima BLBI pun naik dari 131 menjadi 164 bank. Hingga akhir Desember 1997 posisi BLBI yang disalurkan sudah mencapai 47,1 triliun. Pada 27 Desember 1997 berdasarkan disposisi Presiden Suharto atas Surat Gubernur BI tanggal 26 Desember 1997, Mensesneg Moerdiono membuat surat No. R-183/M.Sesneg/12/1997 menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Sebelumnya (9 Desember 1997) Direksi Bank Danamon menemui Direksi BI, di mana disetujui SBPUK senilai Rp. 6 triliun bagi bank itu.
Untuk menyelesaikan krisis yang terjadi, Pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF. Untuk itu ditanda tangani Letter of Intent dengan IMF pada 15 Januari 1998. Di sini pemerintah berencana memberikan jaminan atas deposito (blanket guaranteei) dan diputuskan melalui Keppres No, 26/1998 tanggal 26 Januari 1998. Akibatnya selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp. 103 triliun, artinya situasi rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI melonjak sangat besar.
Maret 1998 Badan Penyebatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan dan menerima pengalihan 54 bank dari BI. Langkah ini justru diikuti dengan rush lanjutan dalam situasi likuidasi ketat pada April 1998. Selama Maret-April nilai BLBI melonjal dari Rp. 31 triliun menjadi hampir Rp. 135 triliun. Selama April September 1998 saldo negatif bank-bank di bawah BPPN justru terus naik. Kerusuhan Mei dan runtuhnya Suharto menyebabkan BCA dirush sehingga BCA memperoleh BLBI dalam tiga tahap pada Mei-Juni dengan total Rp. 35 triliun.
Selama periode Juni-September 1998 BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA yang kemudian ditanda tangani 21 September 1998. Kesepakatan akhir yang memuat release and discharge dcapai 9-10 bulan kemudian, yaitu Mei 1999 (dengan BDNI) dan Juni/Juli 1999 (dengan BCA). Dari kronologi di atas, menurut Dradjat Wibowo dengan menggunakan teori permainan dapatlah dikatakan bahwa penyaluran BLBI ini tidak lebih dari peristiwa transaksi biasa yang menjadi ruwet karena salah satu pihak mengeksploitasi set informasi miliknya lebih baik dari pihak lainnya, seperti nilai aset yang diserahkan. Jadi ada unsur tidak adanya good faith dari salah satu pihak, yaitu bank-bank penerima BLBI. Dapat diibaratkan secara sederhana pemerintah sebagai atasan Bank Indonesia, secara langsung dan tidak langsung menugaskan Bank Indonesia untuk memberikan BLBI (utang) kepada bank atau konglomerat nakal. Sayangnya pemerintah dan Bank Indonesia tidak membuat sistem penyaluran dan pengawasan hutang yang memadai, sehingga memperbesar peluang bagi bank atau konglomerat nakal untuk mengeksploitasi moral hazard. Lebih dari itu pemerintah dan Bank Indonesia tidak mempunyai set informasi yang cukup serta mekanisme insentif dan sanksi yang efektif yang dapat menjamin bank atau konglomerat nakal akan mengembalikan seluruh utangnya.
Tanpa terlalu banyak menggunakan istilah teknis dalam teori permainan, Dradjat Wibowo melihat ada tiga kecacatan dalam permainan tersebut. Pertama, kecacatan sebelum transfer barang dan uang dilakukan. Syarat dari satu pertukaran yang optimal adalah adanya kontrak ex ante, di mana seluruh hak dan kewajiban setiap pemain disebutkan secara rinci. Dalam kontek BLBI seharusnya kontrak ex ante ini menyebutkan mekanisme penyaluran, pengawasan dan pembayaran kembali dengan detail. Ternyata pejabat pemerintah dan BI saat itu termasuk Presiden, Menkeu, Gubernur dan Direksi BI yang mengetahui penyaluran BLBI tidak menyiapkan kontrak ex ante secara memadai.
Kedua, adanya pemisahan lembaga penyalur (BI) dengan lembaga penarik kembali (BPPN). Tanpa ada wanprestasi apapun pemisahan ini jelas dapat menimbulkan kondisi saling melempar kesalahan, apalagi ternyata pejabat atau pegawai BPPN memperoleh insentif finansial untuk setiap aset yang dijual. Dalam kondisi ini BPPN lebih termotivasi untuk penyelesaian dan penjualan aset daripada pengembalian BLBI secara adil. Hasilnya adalah skema MSAA yang sangat menguntungkan konglomerat penerima BLBI.
Ketiga, diabaikannya unsur biaya komunikasi dan informasi dalam permainan di atas. Secara teoritis biaya komunikasi dan informasi ini bisa menganggu tercapainya solusi optimal. Ternyata BPPN hanya menyerahkan hal ini kepada konsultannya terutama untuk melakukan penilaian aset. Tidak ada kewajiban transparansi bagi debitur penerima BLBI dan tidak ada mekanisme untuk menjamin nilai rupiah aset itu sama dana akan tetap sama dengan nilai BLBI yang diterima (prinsip dollar-to-dollar)
Dalam kondisi seperti itu secara teoritis strategis yang paling optimal bagi bank penerima BLBI adalah memaksimalkan selisih antara nilai BLBI dengan nilai aset yang diserahkan. Dengan berbagai teknik rekayasa finansial, selisih tersebut bisa ditransfer ke luar negeri, kemudian dibelikan dolar sebagai modal untuk menguasai asetnya kembali. Jadi apa yang dilakukan oleh bank atau konglomerat nakal itu sebenarnya sudah sesuai teori. Memang dalam teori dikenal sebuah Walrasian Tatonnement, di mana kontrak masih bisa direnogosiasikan sehingga sebuah equilibrium yang memuaskan semua pihak bisa dicapai. Tetapi equilibrium itu tidak akan tercapai kalau salah satu pemain melakukan boikot (blocking).
Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa BPPN sesungguhnya adalah pemain kunci dalam segala keruwetan penyelesaian BLBI. Cacat kedua dan ketiga dari pertukaran di atas tidaklah lepas dari peranan BPPN. Bahkan kalau MSAA ditafsirkan sebagai sebuat Walrasian tatonnement maka kegagalan BPPB dalam memastikan nilai rupiah BLBI sama dengan nilai rupiah dari aset yang diserahkan merupakan bentuk lain dari cacat pertama.
Lebih parahnya cacat pertama pemerintah dan BI tersebut belum mempunyai kekuatan hukum, tetapi dalam cacat pertama yang dilakukan oleh BPPN justru mempunyai kekuatan hukum yang merugikan negara.
Teori akuntansi berisi keseluruhan analisis dan komponennya yang menjadi sumber acuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala atau peristiwa dalam akuntansi.
Seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang saling berkaitan secara sistematis yang diajukan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena atau fakta Seperangkat hipotesis yang bersifat deskriptif sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode ilmiah tertentu.
Dengan demikian, status teori akuntansi akan menjadi sains setara dengan pengertian teori dalam astronomi, ekonomika, fisika, biologi dsb. Ia juga dapat didefinisikan sebagai sains yang berdiri sendiri yang menjadi sumber atau induk pengetahuan atau praktik akuntansi.
Teori akuntansi akan merupakan seperangkat hipotesis yang bersifat deskriptif sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode ilmiah tertentu. Istilah ini juga sering dimaksudkan sebagai suatu penalaran logis yang memberikan penjelasan dan alasan tentang perlakuan akuntansi tertentu dan tentang struktur akuntansi yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu.
Teori akuntansi membahas proses pemikiran atau penalaran untuk menjelaskan kelayakan prinsip atau praktik akuntansi tertentu yang sudah berjalan atau untuk memberikan landasan konseptual dalam penentuan standar atau praktik yang baru.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa teori akuntansi merupakan penalaran logis, gagasan-gagasan mendasar, atau gagasan-gagasan yang berkaitan dan konsisten.
Proses penalaran logis tersebut dapat disebut sebagai perekayasaan. Hasil perekayasaan dalam hal ini dapat berupa seperangkat prinsip umum, seperangkat doktrin, atau suatu struktur/rerangka konsep-konsep yang terpadu.
Prinsip umum, doktrin, atau rerangka tersebut berfungsi untuk:
Acuan pengevaluasian praktik akuntansi yang berjalan
Pengarah pengembangan praktik dan prosedur akuntansi baru
Basis penurunan standar akuntansi
Titik tolak pengujian dan perbaikan praktik berjalan
Pedoman pemecahan masalah potensial
Perspektif Teori Akuntansi
Bila akuntansi diberlakukan sebagai sains, teori akan merupakan penjelasan ilmiah. Bila akuntansi diberlakukan sebagai teknologi, teori ini diartikan sebagai penalaran logis.
Manapun perlakuan yang dianut, teori ini akan berisi pernyataan-pernyataan yang berupa baik penjelasan ataupun pembenaran tentang suatu fenomena atau perlakuan akuntansi.
Aspek Sasaran Teori
Aspek sasaran ini mendasari pembedaan teori akuntansi menjadi positif dan normatif.
Penjelasan positif berisi pernyataan tentang sesuatu seperti apa adanya sesuai dengan fakta atau apa yang terjadi atas dasar pengamatan empiris.
Penjelasan normatif berisi pernyataan dan penalaran untuk menilai apakah sesuatu itu baik atau buruk atau relevan atau tak relevan dalam kaitannya dengan kebijakan ekonomik atau sosial tertentu.
Seri kedua Film The Twilight Saga New Moon karya sang penulis Stephenie Meyer sudah selesai dan siap ditayangkan di pada tanggal 20 November 2009. Info yang saya baca dari yahoo sudah cukup dijadikan sebagai patokan untuk film yang dinanti2 seluruh dunia. Bagaimana tidak ? banyak orang mulai melirik kisah cinta antara Isabella Bella Swan dan Edward Cullen. Mengapa kisah ini menarik untuk disimak ?
Menurut saya secara pribadi terkesima dengan kisah cinta dari dua insan yang berbeda. Sungguh luar biasa deh menurutku yang satu manusia sedangkan yang satunya adalah seorang vampir ! Film yang mengangkat dari novel yang melejit penjualannya memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum hawa terutama sorotan mata sang Edward Cullen yakni “Robert Pattinson“.
Well … Film ini dimulai dengan ulang tahun Isabella Bella Swan yang ke 18, setelah mengikuti acara tersebut Edward Cullen dan keluarganya hendak meninggalkan kota Forks, Washington, untuk melindungi Isabella Bella Swan dari bahaya yang selalu menghampiri Bella selama dekat dengan mereka. Karena Bella merasa patah hati, akhirnya dia melanjutkan studinya. Merasa sendiri, hati yang beku dan kesepian, suatu hari dia menemukan foto Edwards. Dia terbayang dengan Edwards yang slalu datang padanya setiap kali dia dalam posisi bahaya. Keinginan dan rasa cinta mati untuk tetap bersamanya dengan resiko apapun yang harus dibayar menyebabkan posisi Bella dalam bahaya.
Suatu ketika, dia meminta bantuan teman semasa kecilnya yaitu Jacob Black ( yang diperankan oleh Taylor Lautner ). Bella membeli sebuah motor bekas untuk berpetualang. Akhirnya dia bertemu seorang anggota suku Quileute misterius yang memiliki kekuatan supranatural dan berhasil membebaskan hati beku Bella.
Akhirnya, Bella berhadapan dengan musuh lamanya. Bella hanya bisa diselamatkan oleh Serigala berdasarkan petunjuk kekuatan supernatural.Dengan pertemuan musuh lamanya itu, posisi itu membuat status tersebut menjadi jelas bahwa Bella dalam bahaya besar.
Nama qu rita...sekarang aku duduk di semester 7 jurusan akuntansi yang pasti dikampus tercinta Universitas Gunadarma. Sejak dulu begitu banyak impian yang ingin sekali saya capai....tapi kalo terlalu banyak repot juga ya.....tapi itu tidak jadi masalah kan hanya impian, bisa saja terwujud atau berusaha untuk diwujudkan. Sejak dulu...saya ingin menggapai semua impian saya, apapun dilakukan untuk mencapai itu semua. Kita mulai ya....
1. Pada semester ini, saya ingin mendapatkan nilai yang terbaik...ya walaupun bukan IPK yang tertinggi, minimal saya dapat mempertahankan IPK saya yang lalu.
2. Pada semester 8 nanti saya ingin sekali mendapat SK Skripsi....saya dapat Dosen Pembimbing yang baik, dan dapat selalu memudahkan saya dalam menulis skripsi. Dan tidak lupa...lancar pula pas saat sidang nanti....semoga Dosen Pengujinya itu tidak bertanya yang susah-susah...ya...walupun susah tapi saya bisa menjawab pertanyaan tersebut.
3. Yang ketiga ini...saya tidak muluk-muluk lah...saya hanya ingin lulus tepat waktu...dapat gelar Sarjana Ekonomi dalam waktu yang telah ditentukan. Tidak perlu IPK tertinggi...tapi lulus!!!!!
4. Setelah lulus saya ingin keahlian saya ini bisa diterima dan diterapkan di masyarakat...saya ingin bekerja diperusahaan pemerintah...ya BUMN lah...seperti di Dirjen Pajak....itu yang sangat menjadi acuan saya...PLN...Pertamina....Bank Indonesia...!!!! atau di Departemen-Departemen gitu...jadi PNS donk....!!!!!! memang itu yang saya mau......!!!!!!
Kebijakan pemerintah dalam persoalan penyelesaian kredit likuiditas Bank Indonesia ternyata memakan banyak korban. Penyelesesaian kredit likuiditas melalui MSAA, MRA dan PKPS ternyata sampai sekarang belum menampakkan titik terang keberhasilan bahkan cenderung hanya menjadi perdebatan saja. Tindakan penguasa/pemerintah yang cenderung membantu dan melindungi para penerima BLBI menunjukkan bahwa komitmen memperjuangkan nasib rakyat kecil patut untuk dipertanyakan. Tindakan penguasa yang demikian menimbulkan korban yaitu rakyat kecil yang sebenarnya tidak tahu apa-apa dan hal ini akan terus berlanjut jika pemerintah terus melakukan misbruik van macht.
A. Pendahuluan
Dalam lima tahun terakhir ini kehidupan bangsa Indonesia dipenuhi dengan dinamika yang menjadikan negeri ini karya warna. Tonggak yang dapat dipegang dan penuh harapan sebenarnya timbul ketika terjadi gerakan reformasi pada 1998 dengan momentum utamanya adalah turunnya Presiden Suharto. Berbagai harapan untuk memperbaiki hidup atau membuat hidup lebih hidup atau lebibi baik dikumandangkan seperti paduan suara yang nyaring terdengar. Ketika harapan untuk hidup lebih baik didendangkan dan lagi ninabobo dihentikan, para politisi malah sibuk membangun jaringan komunikasi untuk membentuk dan menjaring kekuasaan yang sangat mudah didapatkan.
Harapan untuk memperbaiki hidup rakyat sangat menggebu-gebu meskipun keadaan ekonomi sebenarnya sangat parah. Keadaan ini sama dengan anak muda yang sedang naik libidonya tetapi tidak mempunyai kemampuan atau keberanian mental dan finansial untuk menunjang libidonya itu. Hal ini diperkuat dengan ambisi para politisi yang selalu membuai rakyat dengan kata-kata manis (dan beracun) untuk selalu membela rakyat kecil (kawulo alit) padahal mereka sendiri tidak tahu siapakah rakyat kecil itu sebenarnya. Inilah yang disebut dengan pseudo-science atau pengetahuan yang semu tentang rakyat kecil dan keadaan ini akan tetap berlangsung karena rakyat kecil merupakan komoditas yang mempunyai nilai jual yang tinggi baik secara ekonomis maupun politis.
Pada saat euforia reformasi waktu itu, banyak kalangan dibalut dengan harapan dan hasrat untuk memperbaiki hidup. Dengan logika hasrat yang sederhana mereka berusaha membangun harapan-harapan itu dapat segera terwujud. Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya karena hasrat-hasrat tersebut tidak ditangani dengan manajemen hasrat sehingga yang terjadi tidak seperti yang diharapkan melainkan apa yang tidak diharapkan.
Sekarang keadaannya tidaklah berubah, artinya meskipun pemerintah-annya sudah berganti tetapi elit politik dan penguasa tetap cakar-cakaran memperebutkan kue kekuasaan, tidak saling mendukung bahkan saling menjatuhkan. Keadaan ekonomi yang digadang-gadang akan membaik berdasarkan prediksi para ahli ekonomi sampai paranormal/supranatural, keadaannya tidaklah berubah. Rakyat (terutama rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak) yang tidak mengetahui dinamika dan permainan politik menjadi bingung dibuatnya. Mereka tidak sadar bahwa mereka adalah korban ambisi, korban politik, korban hasrat dan pemenuhan libido yang menggebu-gebu di dada para politisi.
Ketika keadaan ekonomi tidak juga berangsur membaik, otoritas moneter justru membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha besar atau konglomerat dengan mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Langkah ini terbukti tidak efektif karena para konglomerat itu ingkar janji dan tidak mengembalikan bantuan likuiditas itu sedangkan penyelesaian melalui prosedur Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing Agreement (MRA) tidak kunjung usai.
Hal ini ditambah lagi dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang sekali lagi menunjukkan niat otoritas moneter untuk membuat pengusaha dan konglomerat yang tersangkut di dalamnya keenakan. Meskipun PKPS akhirnya batal diperpanjang tetapi hal ini sudah cukup menunjukkan bahwa niat memperpanjang PKPS bukanlah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan para pengusaha, konglomerat dan kepentingan politik penguasa.
Berbagai kejadian dapat dirunut dari awal reformasi sampai sekarang, tetapi benang merah yang hendak ditonjolkan dalam tulisan ini adalah nasib rakyat kecil yang kerap kali terabaikan oleh dentuman ambisi politik dan ekonomi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan. Rakyat yang kehidupan ekonominya mengalami kesulitan makin dibikin bingung dengan berbagai manuver politik yang dibuat oleh para politisi, ekonom, pengusaha dan juga para kriminal ataupun mereka-mereka yang berbaju necis tetapi sebenarnya adalah kriminal. Keadaan rakyat sudah sangat memprihatinkan ditambah dengan sikap penguasa yang sering paradoksal dalam membuat kebijakan tentang rakyat kecil. Kondisi rakyat ini dapat diibaratkan seperti sudah jatuh tertimpa tangga, sudah terluka terkena asam cuka pula. Uraian berikut ini akan menyoroti beberapa peristiwa yang menimbulkan kerugian atau korban di pihak rakyat baik yang secara langsung dirasakan pada saat itu maupun yang tidak dirasakan pada saat ini meskipun akhirnya mereka akan merasakannya di kemudian hari.
B. BLBI, MSAA dan PKPS: Benang Kusut yang Kontroversial
Untuk melihat kekusutan masalah ini, penulis akan menggunakan pendekatan teori permainan (game theoru) sederhana agar mudah dipahami. Untuk itu secara singkat akan disinggung kronologi peristiwa ini. Sesuai dengan perannya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia dapat memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas (mismatch). Pada Desember 1996, bantuan likuiditas yang disalurkan oleh Bank Indonesia hanya Rp. 371 miliar dan sebulan sebelum krisis (Juni 1997) posisi BLBI sebesar Rp. 1,2 triliun. Pada bulan Juli 1997 (awal krisis) posisi BLBI hanya bergerak sedikit menjadi 1,4 triliun. Setelah bulan Juli 1997, posisi BLBI terus mengalami kenaikan apalagi setelah rejim krus bebas diterapkan pada Agustus 1997. Waktu itu Presiden Soeharto memberikan arahan agar tidak melikuidasi bank selama periode antara Pemilu 1997 sampai Sidang Umum MPR Maret 1998. Oleh rapat Direksi Bank Indonesia, 15 Agustus 1997, pengarahan presiden itu diterjemahkan dalam bentuk dispensasi terhadap sanksi skorsing kliring bagi bank-bank yang kalah kliring. Keputusan ini diikuti dengan kenalikan penyaluran BLBI sebesar Rp. 4 triliun hingga posisinya menjadi Rp. 5,2 triliun pada awal September 1997. Oktober 1997 posisi BLBI naik menjadi Rp. 8,6 triliun sebagai akibat tindak lanjut Sidang Kabinet Ekkuwasbang dan Prodis yang membutuhkan memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank sehat yang mengalami mismatch.
Kebijakan ini memberikan legitimasi kepada Bank Indonesia (yang masih menjadi bagian dari Pemerintah) untuk menyalurkan bantuan likuiditas. Sampai di sini pertumbuhan BLBI selama empat bulan pertama masa krisis tidak menunjukkan lonjakan yang sangat fantastis. Perubahan yang sangat luar biasa terjadi setelah pemerintah melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997. Posisi BLBI naik menjadi Rp. 32 triliun hanya dalam waktu sebulan. Jumlah penerima BLBI pun naik dari 131 menjadi 164 bank. Hingga akhir Desember 1997 posisi BLBI yang disalurkan sudah mencapai 47,1 triliun. Pada 27 Desember 1997 berdasarkan disposisi Presiden Suharto atas Surat Gubernur BI tanggal 26 Desember 1997, Mensesneg Moerdiono membuat surat No. R-183/M.Sesneg/12/1997 menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Sebelumnya (9 Desember 1997) Direksi Bank Danamon menemui Direksi BI, di mana disetujui SBPUK senilai Rp. 6 triliun bagi bank itu.
Untuk menyelesaikan krisis yang terjadi, Pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF. Untuk itu ditanda tangani Letter of Intent dengan IMF pada 15 Januari 1998. Di sini pemerintah berencana memberikan jaminan atas deposito (blanket guaranteei) dan diputuskan melalui Keppres No, 26/1998 tanggal 26 Januari 1998. Akibatnya selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp. 103 triliun, artinya situasi rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI melonjak sangat besar.
Maret 1998 Badan Penyebatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan dan menerima pengalihan 54 bank dari BI. Langkah ini justru diikuti dengan rush lanjutan dalam situasi likuidasi ketat pada April 1998. Selama Maret-April nilai BLBI melonjal dari Rp. 31 triliun menjadi hampir Rp. 135 triliun. Selama April September 1998 saldo negatif bank-bank di bawah BPPN justru terus naik. Kerusuhan Mei dan runtuhnya Suharto menyebabkan BCA dirush sehingga BCA memperoleh BLBI dalam tiga tahap pada Mei-Juni dengan total Rp. 35 triliun.
Selama periode Juni-September 1998 BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA yang kemudian ditanda tangani 21 September 1998. Kesepakatan akhir yang memuat release and discharge dcapai 9-10 bulan kemudian, yaitu Mei 1999 (dengan BDNI) dan Juni/Juli 1999 (dengan BCA). Dari kronologi di atas, menurut Dradjat Wibowo dengan menggunakan teori permainan dapatlah dikatakan bahwa penyaluran BLBI ini tidak lebih dari peristiwa transaksi biasa yang menjadi ruwet karena salah satu pihak mengeksploitasi set informasi miliknya lebih baik dari pihak lainnya, seperti nilai aset yang diserahkan. Jadi ada unsur tidak adanya good faith dari salah satu pihak, yaitu bank-bank penerima BLBI. Dapat diibaratkan secara sederhana pemerintah sebagai atasan Bank Indonesia, secara langsung dan tidak langsung menugaskan Bank Indonesia untuk memberikan BLBI (utang) kepada bank atau konglomerat nakal. Sayangnya pemerintah dan Bank Indonesia tidak membuat sistem penyaluran dan pengawasan hutang yang memadai, sehingga memperbesar peluang bagi bank atau konglomerat nakal untuk mengeksploitasi moral hazard. Lebih dari itu pemerintah dan Bank Indonesia tidak mempunyai set informasi yang cukup serta mekanisme insentif dan sanksi yang efektif yang dapat menjamin bank atau konglomerat nakal akan mengembalikan seluruh utangnya.
Tanpa terlalu banyak menggunakan istilah teknis dalam teori permainan, Dradjat Wibowo melihat ada tiga kecacatan dalam permainan tersebut. Pertama, kecacatan sebelum transfer barang dan uang dilakukan. Syarat dari satu pertukaran yang optimal adalah adanya kontrak ex ante, di mana seluruh hak dan kewajiban setiap pemain disebutkan secara rinci. Dalam kontek BLBI seharusnya kontrak ex ante ini menyebutkan mekanisme penyaluran, pengawasan dan pembayaran kembali dengan detail. Ternyata pejabat pemerintah dan BI saat itu termasuk Presiden, Menkeu, Gubernur dan Direksi BI yang mengetahui penyaluran BLBI tidak menyiapkan kontrak ex ante secara memadai.
Kedua, adanya pemisahan lembaga penyalur (BI) dengan lembaga penarik kembali (BPPN). Tanpa ada wanprestasi apapun pemisahan ini jelas dapat menimbulkan kondisi saling melempar kesalahan, apalagi ternyata pejabat atau pegawai BPPN memperoleh insentif finansial untuk setiap aset yang dijual. Dalam kondisi ini BPPN lebih termotivasi untuk penyelesaian dan penjualan aset daripada pengembalian BLBI secara adil. Hasilnya adalah skema MSAA yang sangat menguntungkan konglomerat penerima BLBI.
Ketiga, diabaikannya unsur biaya komunikasi dan informasi dalam permainan di atas. Secara teoritis biaya komunikasi dan informasi ini bisa menganggu tercapainya solusi optimal. Ternyata BPPN hanya menyerahkan hal ini kepada konsultannya terutama untuk melakukan penilaian aset. Tidak ada kewajiban transparansi bagi debitur penerima BLBI dan tidak ada mekanisme untuk menjamin nilai rupiah aset itu sama dana akan tetap sama dengan nilai BLBI yang diterima (prinsip dollar-to-dollar)
Dalam kondisi seperti itu secara teoritis strategis yang paling optimal bagi bank penerima BLBI adalah memaksimalkan selisih antara nilai BLBI dengan nilai aset yang diserahkan. Dengan berbagai teknik rekayasa finansial, selisih tersebut bisa ditransfer ke luar negeri, kemudian dibelikan dolar sebagai modal untuk menguasai asetnya kembali. Jadi apa yang dilakukan oleh bank atau konglomerat nakal itu sebenarnya sudah sesuai teori. Memang dalam teori dikenal sebuah Walrasian Tatonnement, di mana kontrak masih bisa direnogosiasikan sehingga sebuah equilibrium yang memuaskan semua pihak bisa dicapai. Tetapi equilibrium itu tidak akan tercapai kalau salah satu pemain melakukan boikot (blocking).
Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa BPPN sesungguhnya adalah pemain kunci dalam segala keruwetan penyelesaian BLBI. Cacat kedua dan ketiga dari pertukaran di atas tidaklah lepas dari peranan BPPN. Bahkan kalau MSAA ditafsirkan sebagai sebuat Walrasian tatonnement maka kegagalan BPPB dalam memastikan nilai rupiah BLBI sama dengan nilai rupiah dari aset yang diserahkan merupakan bentuk lain dari cacat pertama.
Lebih parahnya cacat pertama pemerintah dan BI tersebut belum mempunyai kekuatan hukum, tetapi dalam cacat pertama yang dilakukan oleh BPPN justru mempunyai kekuatan hukum yang merugikan negara.
Teori akuntansi berisi keseluruhan analisis dan komponennya yang menjadi sumber acuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala atau peristiwa dalam akuntansi.
Seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang saling berkaitan secara sistematis yang diajukan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena atau fakta Seperangkat hipotesis yang bersifat deskriptif sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode ilmiah tertentu.
Dengan demikian, status teori akuntansi akan menjadi sains setara dengan pengertian teori dalam astronomi, ekonomika, fisika, biologi dsb. Ia juga dapat didefinisikan sebagai sains yang berdiri sendiri yang menjadi sumber atau induk pengetahuan atau praktik akuntansi.
Teori akuntansi akan merupakan seperangkat hipotesis yang bersifat deskriptif sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode ilmiah tertentu. Istilah ini juga sering dimaksudkan sebagai suatu penalaran logis yang memberikan penjelasan dan alasan tentang perlakuan akuntansi tertentu dan tentang struktur akuntansi yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu.
Teori akuntansi membahas proses pemikiran atau penalaran untuk menjelaskan kelayakan prinsip atau praktik akuntansi tertentu yang sudah berjalan atau untuk memberikan landasan konseptual dalam penentuan standar atau praktik yang baru.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa teori akuntansi merupakan penalaran logis, gagasan-gagasan mendasar, atau gagasan-gagasan yang berkaitan dan konsisten.
Proses penalaran logis tersebut dapat disebut sebagai perekayasaan. Hasil perekayasaan dalam hal ini dapat berupa seperangkat prinsip umum, seperangkat doktrin, atau suatu struktur/rerangka konsep-konsep yang terpadu.
Prinsip umum, doktrin, atau rerangka tersebut berfungsi untuk:
Acuan pengevaluasian praktik akuntansi yang berjalan
Pengarah pengembangan praktik dan prosedur akuntansi baru
Basis penurunan standar akuntansi
Titik tolak pengujian dan perbaikan praktik berjalan
Pedoman pemecahan masalah potensial
Perspektif Teori Akuntansi
Bila akuntansi diberlakukan sebagai sains, teori akan merupakan penjelasan ilmiah. Bila akuntansi diberlakukan sebagai teknologi, teori ini diartikan sebagai penalaran logis.
Manapun perlakuan yang dianut, teori ini akan berisi pernyataan-pernyataan yang berupa baik penjelasan ataupun pembenaran tentang suatu fenomena atau perlakuan akuntansi.
Aspek Sasaran Teori
Aspek sasaran ini mendasari pembedaan teori akuntansi menjadi positif dan normatif.
Penjelasan positif berisi pernyataan tentang sesuatu seperti apa adanya sesuai dengan fakta atau apa yang terjadi atas dasar pengamatan empiris.
Penjelasan normatif berisi pernyataan dan penalaran untuk menilai apakah sesuatu itu baik atau buruk atau relevan atau tak relevan dalam kaitannya dengan kebijakan ekonomik atau sosial tertentu.
Seri kedua Film The Twilight Saga New Moon karya sang penulis Stephenie Meyer sudah selesai dan siap ditayangkan di pada tanggal 20 November 2009. Info yang saya baca dari yahoo sudah cukup dijadikan sebagai patokan untuk film yang dinanti2 seluruh dunia. Bagaimana tidak ? banyak orang mulai melirik kisah cinta antara Isabella Bella Swan dan Edward Cullen. Mengapa kisah ini menarik untuk disimak ?
Menurut saya secara pribadi terkesima dengan kisah cinta dari dua insan yang berbeda. Sungguh luar biasa deh menurutku yang satu manusia sedangkan yang satunya adalah seorang vampir ! Film yang mengangkat dari novel yang melejit penjualannya memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum hawa terutama sorotan mata sang Edward Cullen yakni “Robert Pattinson“.
Well … Film ini dimulai dengan ulang tahun Isabella Bella Swan yang ke 18, setelah mengikuti acara tersebut Edward Cullen dan keluarganya hendak meninggalkan kota Forks, Washington, untuk melindungi Isabella Bella Swan dari bahaya yang selalu menghampiri Bella selama dekat dengan mereka. Karena Bella merasa patah hati, akhirnya dia melanjutkan studinya. Merasa sendiri, hati yang beku dan kesepian, suatu hari dia menemukan foto Edwards. Dia terbayang dengan Edwards yang slalu datang padanya setiap kali dia dalam posisi bahaya. Keinginan dan rasa cinta mati untuk tetap bersamanya dengan resiko apapun yang harus dibayar menyebabkan posisi Bella dalam bahaya.
Suatu ketika, dia meminta bantuan teman semasa kecilnya yaitu Jacob Black ( yang diperankan oleh Taylor Lautner ). Bella membeli sebuah motor bekas untuk berpetualang. Akhirnya dia bertemu seorang anggota suku Quileute misterius yang memiliki kekuatan supranatural dan berhasil membebaskan hati beku Bella.
Akhirnya, Bella berhadapan dengan musuh lamanya. Bella hanya bisa diselamatkan oleh Serigala berdasarkan petunjuk kekuatan supernatural.Dengan pertemuan musuh lamanya itu, posisi itu membuat status tersebut menjadi jelas bahwa Bella dalam bahaya besar.