Welcome to my blog :)

rss

Sabtu, 22 Mei 2010

Kesenjangan Ekonomi

Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia
Studi empirik yang berkaitan dengan interaksi ekonomi antar daerah di Indonesia, dilakukan oleh beberapa pihak dengan pembagian wilayah yang berbeda dan kurun waktu yang berbeda, namun menunjukkan fenomena kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia yang serupa.
Wuryanto (1996) menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) membagi wilayah studi menjadi wilayah makro Jawa dan wilayah makro Luar Jawa, dan setiap wilayah makro dibagi lagi menjadi wilayah mikro. Wilayah makro Jawa terdiri atas tiga wilayah mikro, yakni : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Sedangkan wilayah makro Luar Jawa terdiri atas empat wilayah mikro, yakni : Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Pulau-pulau lainnya. Hadi (2001) menggunakan model Interregional Accounting Matrix (IRSAM) membagi wilayah studi menjadi Kawasan Barat Indonesia (meliputi Jawa dan Sumatera) dan Kawasan Timur Indonesia. Achjar et el (2003) menggunakan model IRSAM dengan wilayah studi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya di Luar Jawa. Sedangkan Alim (2006) menggunakan model IRSAM dengan wilayah studi Jawa dan Sumatera.

Secara umum, hasil studi empirik sebagaimana disebutkan di atas menunjukkan bahwa melebarnya kesenjangan ekonomi antar daerah antara lain bersumber dari hal-hal sebagai berikut :
1.      Lebih dari 80 persen industri manufaktur yang didirikan di Indonesia berlokasi di Jawa, sekitar 12 - 13 persen di Sumatera, dan sisanya yang kurang dari 10 persen (antara 7–8 persen) berada di wilayah lainnya. Kontribusi nilai tambahnya kurang lebih sama dengan persentase sebaran industri tersebut;
2.      Daerah-daerah Luar Jawa pada umumnya mengekspor produk-produk primer ke Jawa dan mengimpor produk-produk sekunder dari Jawa, dimana nilai impor daerah Luar Jawa jauh lebih besar daripada nilai ekspornya. Hal yang demikian, membuat neraca perdagangan daerah-daerah Luar Jawa mengalami defisit terhadap neraca perdagangan Jawa. Ketimpangan neraca perdagangan ini menjadi semakin parah manakala harga relatif produk-produk primer semakin rendah terhadap produk-produk sekunder.
3.      Kegiatan produksi sektor-sektor ekonomi di Luar Jawa sangat bergantung pada input yang berasal dari Jawa, sedangkan sebaliknya tidak. Hal ini mengakibatkan efek multiplier yang diterima perekonomian Jawa atas kemajuan ekonomi daerah-daerah Luar Jawa sangat besar, sedangkan sebaliknya tidak. Dengan kata lain spillover effect yang ditimbuhkan oleh kemajuan ekonomi daerah-daerah Luar Jawa terhadap perekonomian Jawa jauh lebih besar daripada sebaliknya.
Paling sedikit tiga hal tersebut di atas, merupakan penyebab utama kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa menjadi semakin melebar. Kesenjangan ekonomi antar daerah yang sangat ekstrim akan sangat mudah menimbukan konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal, yang pada gilirannya akan mengakibatkan terpecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antar daerah secara sungguh-sungguh merupakan suatu keharusan. Implikasinya, prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional adalah mengatasi kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa.
Sesungguhnya, upaya serius pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa, akan berdampak pada penyebaran penduduk, mengurangi tekanan pengangguran dan kemiskinan.

Interaksi Ekonomi

Interaksi Ekonomi Antar Daerah
Interaksi ekonomi antar daerah berlangsung melalui perdagangan antar daerah. Daerah yang memperoleh manfaat dari perdagangan tersebut adalah daerah yang nilai ekspornya lebih besar dari nilai impor. Besar kecilnya nilai ekspor tergantung pada harga dari jenis barang yang diekspor dan volume ekspor. Sementara itu, besarnya volume ekspor suatu wilayah tergantung pada tingkat kebutuhan wilayah pengimpor, baik untuk keperluan konsumsi maupun untuk keperluan produksi. Besarnya kebutuhan impor suatu daerah untuk tujuan produksi, tergantung pada seberapa besar keterkaitan (linkages) antara sektor-sektor produksi di daerah pengimpor terhadap sektor-sektor produksi di daerah pengekspor.

Interlinkages, keterkaitan antar sektor antar daerah, menentukan pola ketergantungan ekonomi antar daerah. Ketergantungan ekonomi antar daerah dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola. Pertama, pola “dominan-tergantung” (dependence). Pola ini mempunyai ciri interaksi antara wilayah dominan dan wilayah yang tergantung, di mana wilayah dominan memperoleh keuntungan yang lebih besar dalam interaksi ekonomi, bahkan cenderung mengeksploitasi wilayah yang tergantung untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Dengan demikian, pola ini akan menimbulkan ketimpangan ekonomi antarwilayah yang semakin besar. Kedua, pola “centre-periphery (konsep interdependence), di mana sektor industri (moderen) umumnya berada di wilayah perkotaan sebagai wilayah centre dan sektor primer (tradisional) yang umumnya berada di wilayah pedesaan atau pinggiran kota sebagai wilayah periphery. Pola ini menunjukkan bahwa wilayah periphery menghasilkan dan memasok bahan baku (input) ke wilayah centre, sehingga kemajuan ekonomi wilayah centre akan menarik kemajuan ekonomi wilayah periphery ke tingkat yang lebih maju. Hal yang serupa juga terjadi apabila ekonomi wilayah periphery mengalami pertumbuhan maka permintaan akan hasil produksi wilayah centre akan meningkatkan, yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah centre. Pola interaksi semacam ini pun tidak luput dari kemungkinan terjadinya kesenjangan ekonomi antarwilayah, manakala nilai tukar (term of trade) sektor primer semakin rendah. Ketiga, pola yang serupa dengan pola interaksi ekonomi antara sesama negara industri maju. Pola ini menunjukkan interaksi ekonomi antarwilayah yang saling menguntungkan secara berimbang.
Sumber : Jurnal Ekonomi 

Rabu, 19 Mei 2010

Keuangan Daerah

Keuangan Daerah: Sebelum dan Sesudah Otonomi.
Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada masa orde baru didasarkan pada UU. No. 5/1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, Undang- undang  tersebut  juga  menjelaskan  hubungan  keuangan  antara  pemerintah  pusat  dan pemerintah   daerah.   Untuk   bisa   menjalankan   tugas-tugas   dan   fungsi-fungsi   yang dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan, dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 komponen besar, yaitu:

A. Pendapatan Asli Daerah, yang meliputi:

    . Hasil pajak daerah

    . Hasil restribusi daerah

    . Hasil perusahaan daerah (BUMD)

    . Lain-lain hasil usaha daerah yang sah

B. Pendapatan yang berasal dari pusat, meliputi:

    . Sumbangan dari pemerintah

    . Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan

C. Lain-lain pendapatan daerah yang sah


Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan   yang   berasal   dari   pusat   merupakan   cerminan   atau   indikator   dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Disamping itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi kepada kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu berada di daerah. Sehingga ada beberapa  proyek  pemerintah  pusat  yang  dilaksanakan  di  daerah  yang  dibiayai  oleh pemerintah  pusat  melalui  APBN  tetapi   dana  itu  juga  masuk  di  dalam  anggaran pemerintah daerah (APBD). Pembiayaan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut (Kuncoro, 2004):
    Urusan  yang  merupakan  tugas  pemerintah  pusat  di  daerah  dalam  rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN
    Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD
    Urusan yang merupakan tugas pemerintah  pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya,  yang  dilaksanakan  dalam  rangka  tugas  perbantuan,  dibiayai  oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau  oleh pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan.
Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah pusat memberikan  sejumlah  sumbangan  kepada  pemerintah  daerah.  Dengan  demikian  bagi pemerintah daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai  penelitian  empiris  yang  pernah  dilakukan  menyebutkan  bahwa  dari  ketiga sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas, peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.

Sabtu, 08 Mei 2010

Sejarah Balanced Scorecard


Sejarah Balanced Scorecard

Penggagas BSC adalah Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang dituangkan dalam artikel “Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance” dalam Harvard Business Review tahun 1992. Pemunculan konsep tersebut berbasis penelitian atas 12 (dua belas) perusahaan besar di USA dan Kanada dilanjutkan dengan diskusi-diskusi rutin sepanjang tahun.Kajian intensif tersebut membuahkan konsep BSC sebagai sistem pengukuran kinerja yang bersifat komprehensif dan integral. BSC dikembangkan sebagai sistem pengukuran yang dapat memudahkan pengambil keputusan melihat organisasi secara multi perspektif. Perspektif-perspektif dalam BSC terdiri atas perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.  Penyusunan BSC dimulai dari penerjemahan visi dan misi perusahaan ke dalam sasaran-sasaran strategis dan indikator-indikator. Dari hal itu, Norton dan Kaplan menemukan pentingnya memilih indikator berdasarkan keberhasilan strategis dalam artikel berikutnya yang juga dimuat dalam Harvard Business Review (September-Oktober 1993) dalam artikelnya "Putting the Balanced Scorecard to Work". Artikel ini menjelaskan bahwa pengukuran yang efektif apabila terintegrasi dengan proses manajemen secara keseluruhan.  Perkembangan BSC selanjutnya adalah sebagai sebuah sistem manajemen strategi. Keberhasilan BSC sebagai sistem manajemen strategi dituangkan dalam tulisannya ”Balanced Scorecard as a Strategic Management System” dalam Harvard Business review tahun 1996. Tulisan tersebut berbasis pada praktek penerapan yang dilakukan Renaissance Solution, Inc. yang dimiliki David P Norton pada berbagai perusahaan sejak pertengahan tahun 1993.. Praktek-praktek tersebut berkaitan dengan penerjemahan dan pengimplementasian visi dan misi ke dalam sasaran-sasaran strategis.

Manajemen Pembangunan

Manajemen Pembangunan Daerah Yang Pro-Bisnis
Pemerintah daerah dan pengusaha adalah dua kelompok yang paling berpengaruh dalam menentukan corak pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah, mempunyai kelebihan dalam satu hal, dan tentu saja keterbatasan dalam hal lain, demikian juga pengusaha. Sinergi antara keduanya untuk merencanakan bagaimana ekonomi daerah akan diarahkan perlu menjadi pemahaman bersama. Pemerintah daerah mempunyai kesempatan membuat berbagai peraturan, menyediakan berbagai sarana dan peluang, serta membentuk wawasan orang banyak. Tetapi pemerintah daerah tidak mengetahui banyak bagaimana proses kegiatan ekonomi sebenarnya berlangsung. Pengusaha mempunyai kemampuan mengenali kebutuhan orang banyak dan dengan berbagai insiatifnya, memenuhi kebutuhan itu. Aktivitas memenuhi kebutuhan itu membuat roda perekonomian berputar, menghasilkan gaji dan upah bagi pekerja dan pajak bagi pemerintah. Dengan pajak, pemerintah daerah berkesempatan membentuk kondisi agar perekonomian daerah berkembang lebih lanjut.
Pemerintah daerah dalam mempertahankan keberlanjutan pembangunan ekonomi daerahnya agar membawa dampak yang menguntungkan bagi penduduk daerah perlu memahami bahwa manajemen pembangunan daerah dapat memberikan pengaruh yang baik guna mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang diharapkan. Bila kebijakan manajemen pembangunan tidak tepat sasaran maka akan mengakibatkan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi. Maka manajemen pembangunan daerah mempunyai potensi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi serta menciptakan peluang bisnis yang menguntungkan dalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah.
Prinsip-prinsip manajemen pembangunan yang pro-bisnis adalah antara lain sebagai berikut.
a.          Menyediakan Informasi kepada Pengusaha
Pemerintah daerah dapat memberikan informasi kepada para pelaku ekonomi di daerahnya ataupun di luar daerahnya kapan, dimana, dan apa saja jenis investasi yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang akan datang. Dengan cara ini maka pihak pengusaha dapat mengetahui arah kebijakan pembangunan daerah yang diinginkan pemerintah daerah, sehingga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan dalam kegiatan apa usahanya akan perlu dikembangkan. Pemerintah daerah perlu terbuka mengenai kebijakan pembangunannya, dan informasi yang diterima publik perlu diupayakan sesuai dengan yang diinginkan.
b.         Memberikan Kepastian dan Kejelasan Kebijakan
Salah satu kendala berusaha adalah pola serta arah kebijakan publik yang berubah-ubah sedangkan pihak investor memerlukan ada kepastian mengenai arah serta tujuan kebijakan pemerintah. Strategi pembangunan ekonomi daerah yang baik dapat membuat pengusaha yakin bahwa investasinya akan menghasilkan keuntungan di kemudian hari. Perhatian utama calon penanam modal oleh sebab itu adalah masalah kepastian kebijakan. Pemerintah daerah akan harus menghindari adanya tumpang tindih kebijakan jika menghargai peran pengusaha dalam membangun ekonomi daerah. Ini menuntut adanya saling komunikasi diantara instansi-instansi penentu perkembangan ekonomi daerah. Dengan cara ini, suatu instansi dapat mengetahui apa yang sedang dan akan dilakukan instansi lain, sehingga dapat mengurangi terjadinya kemiripan kegiatan atau ketiadaan dukungan yang diperlukan.
Pengusaha juga mengharapkan kepastian kebijakan antar waktu. Kebijakan yang berubah-ubah akan membuat pengusaha kehilangan kepercayaan mengenai keseriusannya membangun ekonomi daerah. Pengusaha daerah umumnya sangat jeli dengan perilaku pengambil kebijakan di daerahnya. Kerjasama yang saling menguntungkan mensyaratkan adanya kepercayaan terhadap mitra usaha. Membangun kepercayaan perlu dilakukan secara terencana dan merupakan bagian dari upaya pembangunan daerah.

c.          Mendorong Sektor Jasa dan Perdagangan
Sektor ekonomi yang umumnya bekembang cepat di kota-kota adalah sektor perdagangan kecil dan jasa. Sektor ini sangat tergantung pada jarak dan tingkat kepadatan penduduk. Persebaran penduduk yang berjauhan dan tingkat kepadatan penduduk yang rendah akan memperlemah sektor jasa dan perdagangan eceran, yang mengakibatkan peluang kerja berkurang. Semakin dekat penduduk, maka interaksi antar mereka akan mendorong kegiatan sektor jasa dan perdagangan. Seharusnya pedagang kecil mendapat tempat yang mudah untuk berusaha, karena telah membantu pemerintah daerah mengurangi pengangguran. Pada waktunya pengusaha kecil akan membayar pajak kepada pemerintah daerah. Dengan menstimulir usaha jasa dan perdagangan eceran, pertukaran ekonomi yang lebih cepat dapat terjadi sehingga menghasilkan investasi yang lebih besar. Adanya banyak pusat-pusat pedagang kaki lima yang efisien dan teratur akan menarik lebih banyak investasi bagi ekonomi daerah dalam jangka panjang.
Sebagian besar lapangan kerja yang ada dalam suatu wilayah diciptakan oleh usaha kecil dan menengah. Namun usaha kecil juga rentan terhadap ketidakstabilan, yang terutama berkaitan dengan pasar dan modal, walaupun secara umum dibandingkan sektor skala besar, usaha kecil dan menengah lebih tangguh menghadapi krisis ekonomi. Pemerintah daerah perlu berupaya agar konjungtur ekonomi tidak berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha kecil.

d.         Meningkatkan Daya Saing Pengusaha Daerah
Kualitas strategi pembangunan ekonomi daerah dapat dilihat dari apa yang akan dilakukan pemerintah daerah dalam menyiapkan pengusaha-pengusaha di daerahnya menghadapi persaingan global. Globalisasi (atau penduniaan) akan semakin mempengaruhi perkembangan ekonomi daerah dengan berlakunya perjanjian AFTA, APEC dan lain-lain. Mau tidak mau, siap atau tidak siap perdagangan bebas akan menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat di semua daerah. Upaya untuk menyiapkan pengusaha daerah oleh sebab itu perlu dilakukan. Pengusaha dari negara maju telah siap atau disiapkan sejak lama. Pengusaha daerah juga perlu diberitahu konsekuensi langsung dari ketidaksiapan menghadapi perdagangan bebas. Saat ini, pengusaha lokal mungkin masih dapat meminta pengertian manajer supermarket untuk mendapatkan tempat guna menjual produksinya. Tahun depan, bisa tidak ada toleransi untuk produksi lokal yang tidak lebih murah, tidak lebih berkualitas dan tidak lebih tetap pasokannya.
Meningkatkan daya saing adalah dengan meningkatkan persaingan itu sendiri. Ini berarti perlakuan-perlakukan khusus harus ditinggalkan. Proteksi perlu ditiadakan segera ataupun bertahap. Pengembangan produk yang sukses adalah yang berorientasi pasar, ini berarti pemerintah daerah perlu mendorong pengusaha untuk selalu meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis. Peraturan perdagangan internasional harus diperkenalkan dan diterapkan. Perlu ada upaya terencana agar setiap pejabat pemerinah daerah mengerti peraturan-peraturan perdagangan internasional ini, untuk dapat mendorong pengusaha-pengusaha daerah menjadi pemain-pemain yang tangguh dalam perdagangan bebas, baik pada lingkup daerah, nasional maupun internasional.

e.          Membentuk Ruang yang Mendorong Kegiatan Ekonomi
            Membentuk ruang khusus untuk kegiatan ekonomi akan lebih langsung menggerakkan kegiatan ekonomi. Pemerintah daerah perlu berusaha mengantisipasi kawasan-kawasan mana yang dapat ditumbuhkan menjadi pusat-pusat perekonomian wilayah. Kawasan-kawasan yang strategis dan cepat tumbuh ini dapat berupa kawasan yang sudah menunjukkan tanda-tanda aglomerasi, seperti sentra-sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan; klaster industri, dsb. Kawasan cepat tumbuh juga dapat berupa kawasan yang sengaja dibangun untuk memanfaatkan potensi SDA yang belum diolah, seperti yang dulu dikembangkan dengan sistim permukiman transmigrasi. Kawasan-kawasan ini perlu dikenali dan selanjutnya ditumbuhkan dengan berbagai upaya pengembangan kegiatan ekonomi, seperti pengadaan terminal agribisnis, pengerasan jalan, pelatihan bisnis, promosi dsb.  Pengembangan kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh ini perlu dilakukan bersamaan dengan upaya peningkatan keterampilan, pengembangan usaha, dan penguatan keberdayaan masyarakat

Sumber : Jurnal Ekonomi 

Manajemen Strategik

ARTI MANAJEMEN STRATEGIK


“Manajemen strategik adalah suatu seni dan ilmu dari pembuatan (formulating), penerapan (implementing) dan evaluasi (evaluating0 keputusan-keputusan strategis antar fungsi-fungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan masa datang.”
Dari definisi tersebut terdapat dua hal penting yang dapat disimpulkan, yaitu:
1.    Manajemen Strategik terdiri atas tiga proses:
a.    Pembuatan Strategi, yang meliputi pengembnagan misi dan tujuan jangka panjang, mengidentifiksikan peluang dan ancaman dari luar serta kekuatan dan kelemahan organisasi, pengembangan alternatif-alternatif strategi dan penentuan strategi yang sesuai untuk diadopsi.
b.    Penerapan strategi meliputi penentuan sasaran-sasaran operasional tahunan, kebijakan organisasi, memotovasi anggota dan mengalokasikan sumber-sumber daya agar strategi yang telah ditetapkan dapat diimplementasikan.
c.    Evaluasi/Kontrol strategi, mencakup usaha-usaha untuk memonitor seluruh hasil-hasil dari pembuatan dan penerapan strategi, termasuk mengukur kinerja individu dan organisasi serta mengambil langkah-langkah perbaikan jika diperlukan.

2.    Manajemen Strategik memfokuskan pada penyatuan/penggabungan aspek-aspek pemasaran, riset dan pengembangan, keuangan/akuntansi, operasional/produksi dari sebuah organisasi.

Strategik selalu “memberikan sebuah keuntungan”, sehingga apabila proses manajemen yang dilakukan oleh organisasi gagal menciptakan keuntungan bagi organisasi tersebut maka dapat dikatakan proses manajemen tersebut bukan manajemen strategik.

PERBEDAAN STRATEGI DAN TAKTIK

Untuk memudahkan pengertian antara strategi dan taktik, kita bisa menggunakan kata tanya “apa” dan “bagaimana”.
Jika kita akan memutuskan “apa” yang seharusnya kita lakukan maka kita akan memutuskan suatu strategi. Jika kita akan memutuskan “bagaimana”  untuk mengerjakan sesuatu maka itulah yang dinamakan taktik. Menurut Drucker, strategi adalah mengerjakan sesuatu yang benar (doing the right things) dan taktik adalah mengerjakan sesuatu dengan benar (doing the things right). Sedangkan menurut Karl Van Clausewits, strategi merupakan suatu seni menggunakan pertempuran untuk memenangkan suatu perang, sedangkan taktik adalah seni menggunakan tentara dalam sebuah pertempuran.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa taktik merupakan penjabaran operasional  jangka pendek dari strategi agar strategi tersebut dapat diterapkan. Karena strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan suatu organisasi, maka strategi memiliki beberapa sifat, yaitu :
1.    Menyatu (unified) : menyatukan seluruh bagian-bagian dalam organisasi.
2.    Menyeluruh (comprehensif): mencakup seluruh aspek dalam organisasi.
3.    Integral (integrated) : seluruh strategi akan cocok/sesuai untuk seluruh tingkatan (corporate, business  and functional)

ABCD

Asset Based Community Development

Sebagaimana dipaparkan di atas, tingkat kemiskinan yang tidak kunjung berkurang ini tidak dapat dilepaskan dari pendekatan atau strategi pembangunan yang dalam prakteknya lebih banyak menempatkan rakyat sebagai obyek, belum benar-benar sebagai subyek. Sektor pertanian dan kelautan yang menjadi penopang sebagian besar rakyat Indonesia ternyata justru tidak dipacu sebagaimana halnya di sektor industri. Mulai tahun 1984 kebijakan pembangunan ekonomi meninggalkan sektor pertanian, dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan, yang penuh ketergantungan pada impor (Sajogyo, 20 02). Sedangkan di sektor kelautan, perhatian terhadap kehidupan kaum nelayan yang menggantungkan hidupnya di kawaan pesisir dirasa masih sangat rendah. Padahal kegiatan perikanan di kawasan pesisir mencapai 90 % dari kegiatan perikanan Indonesia (Nikiyullu w, 2000). Justru kebijakan pembangunan seringkali mengakibatkan kaum miskin (petani dan nelayan) termarjinalisasi dan harus kehilangan lahan garapannya demi sebuah proyek pembangunan yang tidak disinergikan dengan kehidupan rakyat setempat. Sebagai contoh proyek industri pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan bali menggusur perkampungan nelayan tanpa ada good will untuk melibatkan rakyat berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata disana (Sunaryo dalam Woro Astuti, 2000). Dengan adanya UU No. 22 tahun 199 9 sebenarnya memberikan angin segar bagi pemupukan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan tentang hal -hal yang menyangkut diri mereka. Kewenangan yang lebih besar diberikan kepada pemerintah propinsi, kabupaten maupun desa, agar lembaga-lembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah sesuai potensi daerah dan aspirasi masyarakatnya masing -masing. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan aspirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan produk kebijaksanaan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat Kenyataan bahwa “daerah lebih mengetahui potensi daerahnya masing - masing”, mendorong untuk dilakukannya re -orientasi peran baik pemerintah pusat, daerah, maupun desa dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan pada era otonomi daerah harus lebih mengandalkan kreativitas dan prakarsa daerah dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pandangan dan pendampingan - pendampingan bagi program-program penanggulangan kemiskinan (Mubyarto, 2002). 
Hal ini merujuk pada esensi community based development yang memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, sehingga mereka akan lebih bertanggungjawab untuk mendukung, memelihara, dan meningkatkan hasil –hasil pembangunan secara berkesinambungan untuk kemaslahatan mereka bersama. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan dapat meningkatkan self-reliance yang dibutuhkan demi akselerasi program-program pembangunan (Bryant C. & White, L.G., 1987). Masyarakat yang sudah diberdayakan ini pada akhirnya akan tumbuh menjadi lebih kreatif dan mandiri, sehingga negara akan menjadi maju. Sebagaimana di negara-negara maju, disana peran entrepreneur society nya (masyarakat wirausaha dan mandiri) sangat menonjol (Tjokroamidjojo, 1990). Di negara sedang berkembang lainnya seperti di Afrika dan India, telah banyak menerapkan model pembangunan yang disebut dengan pengembangan masyarakat (community development). Inti gerakan dan pendekatan ini adalah untuk membantu masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam memperbaiki kondisi kehidupannya baik materiil maupun non-materiil (Norman B. Schwartz, 1978). Meskipun dalam perkembangannya gerakan ini kemudian ditinggalkan dengan alasan hasilnya tidak sepadan, namun kontribusi gerakan ini sangat bermanfaat dalam meletakkan landasan bagi pembangunan entrepreneur society di kalangan masyarakat “bawah”. 

Di Amerika serikat sekitar pertengan dekade 90 an mengembangkan suatu konsep pendekatan pembangunan yang dise but dengan community building khususnya untuk rural area. Community building ini adalah suatu pendekatan yang menyentuh setiap individu rumah tangga agar masing-masing dapat benar-benar mendapatkan manfaat dari program pembangunan yang dijalankan. Pendekat an ini biasanya difokuskan mulai pada peningkatan hal -hal yang bersifat spesifik, seperti meningkatkan kualitas sekolah di desa, perbaikan irigasi, dan lain -lain yang benar-benar dapat melibatkan masyarakat untuk bersama -sama merancang, mengerjakan dan mempertanggung jawabkan hasilnya. Selanjutnya berkembang hingga membangun social capital (saling percaya, kesetiakawanan, moral, dll) diantara warga sehingga tercipta suatu komunitas entrepreneur yang tidak meninggalkan nilai-nilai etika dan moral dalam menge jar pendapatan ( James O. Gibson, G. Thomas Kingsley, Joseph B. McNeely , May 01, 1997, http://www.urban.org/url.cfm?ID=307016 ) Apa yang dilakukan di Amerika tersebut bukannya tidak pernah ada dalam kehidupan keseharian masyarakat pedesaan Indonesia. Seperti gotong royong memperbaiki tanggul, jalan, dan berbagai sarana umum lainnya secara sukarela. Namun aktivitas tersebut justr u merupakan nilai-nilai yang kini banyak dilupakan atau ditinggalkan seiring dengan dinamika pembangunan yang semakin mengikis nilai-nilai kebersamaan (atau disebut sebagai social capital). Kejujuran, sukarela, kesetiakawanan justru semakin memudar. Wakil -wakil rakyat yang sedianya mengayomi dan memperjuangkan aspirasi rakyat justru mencari keuntungan pribadi dengan mengatas namakan rakyat, sudah menjadi fakta di berbagai daerah. Pemerintah otonom yang sedianya lebih berorientasi untuk kesejahteraan rakyat justru dalam beberapa kebijakannya mengabaikan aspirasi dan cenderung membebani rakyatnya. Beberapa contoh konkrit dapat dikemukakan seperti di Kabupaten Pasaman, Sumbar, memiliki Perda No 14/2000 yang mengenakan retribusi kepada pasar, grosir, dan pertokoan sebesar Rp 5.000 per hari. 
Adapun di Kabupaten Pariaman melalui Perda No 2/2000 dikenakan retribusi bagi masyarakat yang menjual ternak. Bahkan, di Kabupaten Cirebon, ada perda yang memberlakukan pungutan kepada pengamen, di Bengkulu diberlakukan pungu tan kepada masyarakat yang mengambil sayuran di hutan (Kompas, 26 Agustus 2003). Bahkan di era otonomi daerah ini, beberapa proyek pembagunan daerah dan desa ternyata juga masih kurang memperhatikan dan melibatkan masyarakat local. Sebagai contoh proyek CERD/Community Empowerment for Rural Development (penguatan masyarakat untuk pembangunan desa) di Kalimantan Selatan (Kalsel), yang didanai utang luar negeri (loan) Asian Development Bank (ADB) dinilai telah gagal dari tujuan awal. Karena itu, masyarakat desa yang menjadi lokasi proyek tersebut melakukan protes kepada ADB dan menyerukan agar segera ada perubahan. 

Sabtu, 22 Mei 2010

Kesenjangan Ekonomi

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 06.18 0 komentar
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia
Studi empirik yang berkaitan dengan interaksi ekonomi antar daerah di Indonesia, dilakukan oleh beberapa pihak dengan pembagian wilayah yang berbeda dan kurun waktu yang berbeda, namun menunjukkan fenomena kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia yang serupa.
Wuryanto (1996) menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) membagi wilayah studi menjadi wilayah makro Jawa dan wilayah makro Luar Jawa, dan setiap wilayah makro dibagi lagi menjadi wilayah mikro. Wilayah makro Jawa terdiri atas tiga wilayah mikro, yakni : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Sedangkan wilayah makro Luar Jawa terdiri atas empat wilayah mikro, yakni : Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Pulau-pulau lainnya. Hadi (2001) menggunakan model Interregional Accounting Matrix (IRSAM) membagi wilayah studi menjadi Kawasan Barat Indonesia (meliputi Jawa dan Sumatera) dan Kawasan Timur Indonesia. Achjar et el (2003) menggunakan model IRSAM dengan wilayah studi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya di Luar Jawa. Sedangkan Alim (2006) menggunakan model IRSAM dengan wilayah studi Jawa dan Sumatera.

Secara umum, hasil studi empirik sebagaimana disebutkan di atas menunjukkan bahwa melebarnya kesenjangan ekonomi antar daerah antara lain bersumber dari hal-hal sebagai berikut :
1.      Lebih dari 80 persen industri manufaktur yang didirikan di Indonesia berlokasi di Jawa, sekitar 12 - 13 persen di Sumatera, dan sisanya yang kurang dari 10 persen (antara 7–8 persen) berada di wilayah lainnya. Kontribusi nilai tambahnya kurang lebih sama dengan persentase sebaran industri tersebut;
2.      Daerah-daerah Luar Jawa pada umumnya mengekspor produk-produk primer ke Jawa dan mengimpor produk-produk sekunder dari Jawa, dimana nilai impor daerah Luar Jawa jauh lebih besar daripada nilai ekspornya. Hal yang demikian, membuat neraca perdagangan daerah-daerah Luar Jawa mengalami defisit terhadap neraca perdagangan Jawa. Ketimpangan neraca perdagangan ini menjadi semakin parah manakala harga relatif produk-produk primer semakin rendah terhadap produk-produk sekunder.
3.      Kegiatan produksi sektor-sektor ekonomi di Luar Jawa sangat bergantung pada input yang berasal dari Jawa, sedangkan sebaliknya tidak. Hal ini mengakibatkan efek multiplier yang diterima perekonomian Jawa atas kemajuan ekonomi daerah-daerah Luar Jawa sangat besar, sedangkan sebaliknya tidak. Dengan kata lain spillover effect yang ditimbuhkan oleh kemajuan ekonomi daerah-daerah Luar Jawa terhadap perekonomian Jawa jauh lebih besar daripada sebaliknya.
Paling sedikit tiga hal tersebut di atas, merupakan penyebab utama kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa menjadi semakin melebar. Kesenjangan ekonomi antar daerah yang sangat ekstrim akan sangat mudah menimbukan konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal, yang pada gilirannya akan mengakibatkan terpecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antar daerah secara sungguh-sungguh merupakan suatu keharusan. Implikasinya, prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional adalah mengatasi kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa.
Sesungguhnya, upaya serius pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa, akan berdampak pada penyebaran penduduk, mengurangi tekanan pengangguran dan kemiskinan.

Interaksi Ekonomi

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 06.12 0 komentar
Interaksi Ekonomi Antar Daerah
Interaksi ekonomi antar daerah berlangsung melalui perdagangan antar daerah. Daerah yang memperoleh manfaat dari perdagangan tersebut adalah daerah yang nilai ekspornya lebih besar dari nilai impor. Besar kecilnya nilai ekspor tergantung pada harga dari jenis barang yang diekspor dan volume ekspor. Sementara itu, besarnya volume ekspor suatu wilayah tergantung pada tingkat kebutuhan wilayah pengimpor, baik untuk keperluan konsumsi maupun untuk keperluan produksi. Besarnya kebutuhan impor suatu daerah untuk tujuan produksi, tergantung pada seberapa besar keterkaitan (linkages) antara sektor-sektor produksi di daerah pengimpor terhadap sektor-sektor produksi di daerah pengekspor.

Interlinkages, keterkaitan antar sektor antar daerah, menentukan pola ketergantungan ekonomi antar daerah. Ketergantungan ekonomi antar daerah dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola. Pertama, pola “dominan-tergantung” (dependence). Pola ini mempunyai ciri interaksi antara wilayah dominan dan wilayah yang tergantung, di mana wilayah dominan memperoleh keuntungan yang lebih besar dalam interaksi ekonomi, bahkan cenderung mengeksploitasi wilayah yang tergantung untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Dengan demikian, pola ini akan menimbulkan ketimpangan ekonomi antarwilayah yang semakin besar. Kedua, pola “centre-periphery (konsep interdependence), di mana sektor industri (moderen) umumnya berada di wilayah perkotaan sebagai wilayah centre dan sektor primer (tradisional) yang umumnya berada di wilayah pedesaan atau pinggiran kota sebagai wilayah periphery. Pola ini menunjukkan bahwa wilayah periphery menghasilkan dan memasok bahan baku (input) ke wilayah centre, sehingga kemajuan ekonomi wilayah centre akan menarik kemajuan ekonomi wilayah periphery ke tingkat yang lebih maju. Hal yang serupa juga terjadi apabila ekonomi wilayah periphery mengalami pertumbuhan maka permintaan akan hasil produksi wilayah centre akan meningkatkan, yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah centre. Pola interaksi semacam ini pun tidak luput dari kemungkinan terjadinya kesenjangan ekonomi antarwilayah, manakala nilai tukar (term of trade) sektor primer semakin rendah. Ketiga, pola yang serupa dengan pola interaksi ekonomi antara sesama negara industri maju. Pola ini menunjukkan interaksi ekonomi antarwilayah yang saling menguntungkan secara berimbang.
Sumber : Jurnal Ekonomi 

Rabu, 19 Mei 2010

Keuangan Daerah

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 18.23 0 komentar
Keuangan Daerah: Sebelum dan Sesudah Otonomi.
Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada masa orde baru didasarkan pada UU. No. 5/1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, Undang- undang  tersebut  juga  menjelaskan  hubungan  keuangan  antara  pemerintah  pusat  dan pemerintah   daerah.   Untuk   bisa   menjalankan   tugas-tugas   dan   fungsi-fungsi   yang dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan, dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 komponen besar, yaitu:

A. Pendapatan Asli Daerah, yang meliputi:

    . Hasil pajak daerah

    . Hasil restribusi daerah

    . Hasil perusahaan daerah (BUMD)

    . Lain-lain hasil usaha daerah yang sah

B. Pendapatan yang berasal dari pusat, meliputi:

    . Sumbangan dari pemerintah

    . Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan

C. Lain-lain pendapatan daerah yang sah


Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan   yang   berasal   dari   pusat   merupakan   cerminan   atau   indikator   dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Disamping itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi kepada kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu berada di daerah. Sehingga ada beberapa  proyek  pemerintah  pusat  yang  dilaksanakan  di  daerah  yang  dibiayai  oleh pemerintah  pusat  melalui  APBN  tetapi   dana  itu  juga  masuk  di  dalam  anggaran pemerintah daerah (APBD). Pembiayaan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut (Kuncoro, 2004):
    Urusan  yang  merupakan  tugas  pemerintah  pusat  di  daerah  dalam  rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN
    Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD
    Urusan yang merupakan tugas pemerintah  pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya,  yang  dilaksanakan  dalam  rangka  tugas  perbantuan,  dibiayai  oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau  oleh pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan.
Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah pusat memberikan  sejumlah  sumbangan  kepada  pemerintah  daerah.  Dengan  demikian  bagi pemerintah daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai  penelitian  empiris  yang  pernah  dilakukan  menyebutkan  bahwa  dari  ketiga sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas, peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.

Sabtu, 08 Mei 2010

Sejarah Balanced Scorecard

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 06.08 0 komentar

Sejarah Balanced Scorecard

Penggagas BSC adalah Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang dituangkan dalam artikel “Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance” dalam Harvard Business Review tahun 1992. Pemunculan konsep tersebut berbasis penelitian atas 12 (dua belas) perusahaan besar di USA dan Kanada dilanjutkan dengan diskusi-diskusi rutin sepanjang tahun.Kajian intensif tersebut membuahkan konsep BSC sebagai sistem pengukuran kinerja yang bersifat komprehensif dan integral. BSC dikembangkan sebagai sistem pengukuran yang dapat memudahkan pengambil keputusan melihat organisasi secara multi perspektif. Perspektif-perspektif dalam BSC terdiri atas perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.  Penyusunan BSC dimulai dari penerjemahan visi dan misi perusahaan ke dalam sasaran-sasaran strategis dan indikator-indikator. Dari hal itu, Norton dan Kaplan menemukan pentingnya memilih indikator berdasarkan keberhasilan strategis dalam artikel berikutnya yang juga dimuat dalam Harvard Business Review (September-Oktober 1993) dalam artikelnya "Putting the Balanced Scorecard to Work". Artikel ini menjelaskan bahwa pengukuran yang efektif apabila terintegrasi dengan proses manajemen secara keseluruhan.  Perkembangan BSC selanjutnya adalah sebagai sebuah sistem manajemen strategi. Keberhasilan BSC sebagai sistem manajemen strategi dituangkan dalam tulisannya ”Balanced Scorecard as a Strategic Management System” dalam Harvard Business review tahun 1996. Tulisan tersebut berbasis pada praktek penerapan yang dilakukan Renaissance Solution, Inc. yang dimiliki David P Norton pada berbagai perusahaan sejak pertengahan tahun 1993.. Praktek-praktek tersebut berkaitan dengan penerjemahan dan pengimplementasian visi dan misi ke dalam sasaran-sasaran strategis.

Manajemen Pembangunan

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 05.59 0 komentar
Manajemen Pembangunan Daerah Yang Pro-Bisnis
Pemerintah daerah dan pengusaha adalah dua kelompok yang paling berpengaruh dalam menentukan corak pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah, mempunyai kelebihan dalam satu hal, dan tentu saja keterbatasan dalam hal lain, demikian juga pengusaha. Sinergi antara keduanya untuk merencanakan bagaimana ekonomi daerah akan diarahkan perlu menjadi pemahaman bersama. Pemerintah daerah mempunyai kesempatan membuat berbagai peraturan, menyediakan berbagai sarana dan peluang, serta membentuk wawasan orang banyak. Tetapi pemerintah daerah tidak mengetahui banyak bagaimana proses kegiatan ekonomi sebenarnya berlangsung. Pengusaha mempunyai kemampuan mengenali kebutuhan orang banyak dan dengan berbagai insiatifnya, memenuhi kebutuhan itu. Aktivitas memenuhi kebutuhan itu membuat roda perekonomian berputar, menghasilkan gaji dan upah bagi pekerja dan pajak bagi pemerintah. Dengan pajak, pemerintah daerah berkesempatan membentuk kondisi agar perekonomian daerah berkembang lebih lanjut.
Pemerintah daerah dalam mempertahankan keberlanjutan pembangunan ekonomi daerahnya agar membawa dampak yang menguntungkan bagi penduduk daerah perlu memahami bahwa manajemen pembangunan daerah dapat memberikan pengaruh yang baik guna mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang diharapkan. Bila kebijakan manajemen pembangunan tidak tepat sasaran maka akan mengakibatkan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi. Maka manajemen pembangunan daerah mempunyai potensi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi serta menciptakan peluang bisnis yang menguntungkan dalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah.
Prinsip-prinsip manajemen pembangunan yang pro-bisnis adalah antara lain sebagai berikut.
a.          Menyediakan Informasi kepada Pengusaha
Pemerintah daerah dapat memberikan informasi kepada para pelaku ekonomi di daerahnya ataupun di luar daerahnya kapan, dimana, dan apa saja jenis investasi yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang akan datang. Dengan cara ini maka pihak pengusaha dapat mengetahui arah kebijakan pembangunan daerah yang diinginkan pemerintah daerah, sehingga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan dalam kegiatan apa usahanya akan perlu dikembangkan. Pemerintah daerah perlu terbuka mengenai kebijakan pembangunannya, dan informasi yang diterima publik perlu diupayakan sesuai dengan yang diinginkan.
b.         Memberikan Kepastian dan Kejelasan Kebijakan
Salah satu kendala berusaha adalah pola serta arah kebijakan publik yang berubah-ubah sedangkan pihak investor memerlukan ada kepastian mengenai arah serta tujuan kebijakan pemerintah. Strategi pembangunan ekonomi daerah yang baik dapat membuat pengusaha yakin bahwa investasinya akan menghasilkan keuntungan di kemudian hari. Perhatian utama calon penanam modal oleh sebab itu adalah masalah kepastian kebijakan. Pemerintah daerah akan harus menghindari adanya tumpang tindih kebijakan jika menghargai peran pengusaha dalam membangun ekonomi daerah. Ini menuntut adanya saling komunikasi diantara instansi-instansi penentu perkembangan ekonomi daerah. Dengan cara ini, suatu instansi dapat mengetahui apa yang sedang dan akan dilakukan instansi lain, sehingga dapat mengurangi terjadinya kemiripan kegiatan atau ketiadaan dukungan yang diperlukan.
Pengusaha juga mengharapkan kepastian kebijakan antar waktu. Kebijakan yang berubah-ubah akan membuat pengusaha kehilangan kepercayaan mengenai keseriusannya membangun ekonomi daerah. Pengusaha daerah umumnya sangat jeli dengan perilaku pengambil kebijakan di daerahnya. Kerjasama yang saling menguntungkan mensyaratkan adanya kepercayaan terhadap mitra usaha. Membangun kepercayaan perlu dilakukan secara terencana dan merupakan bagian dari upaya pembangunan daerah.

c.          Mendorong Sektor Jasa dan Perdagangan
Sektor ekonomi yang umumnya bekembang cepat di kota-kota adalah sektor perdagangan kecil dan jasa. Sektor ini sangat tergantung pada jarak dan tingkat kepadatan penduduk. Persebaran penduduk yang berjauhan dan tingkat kepadatan penduduk yang rendah akan memperlemah sektor jasa dan perdagangan eceran, yang mengakibatkan peluang kerja berkurang. Semakin dekat penduduk, maka interaksi antar mereka akan mendorong kegiatan sektor jasa dan perdagangan. Seharusnya pedagang kecil mendapat tempat yang mudah untuk berusaha, karena telah membantu pemerintah daerah mengurangi pengangguran. Pada waktunya pengusaha kecil akan membayar pajak kepada pemerintah daerah. Dengan menstimulir usaha jasa dan perdagangan eceran, pertukaran ekonomi yang lebih cepat dapat terjadi sehingga menghasilkan investasi yang lebih besar. Adanya banyak pusat-pusat pedagang kaki lima yang efisien dan teratur akan menarik lebih banyak investasi bagi ekonomi daerah dalam jangka panjang.
Sebagian besar lapangan kerja yang ada dalam suatu wilayah diciptakan oleh usaha kecil dan menengah. Namun usaha kecil juga rentan terhadap ketidakstabilan, yang terutama berkaitan dengan pasar dan modal, walaupun secara umum dibandingkan sektor skala besar, usaha kecil dan menengah lebih tangguh menghadapi krisis ekonomi. Pemerintah daerah perlu berupaya agar konjungtur ekonomi tidak berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha kecil.

d.         Meningkatkan Daya Saing Pengusaha Daerah
Kualitas strategi pembangunan ekonomi daerah dapat dilihat dari apa yang akan dilakukan pemerintah daerah dalam menyiapkan pengusaha-pengusaha di daerahnya menghadapi persaingan global. Globalisasi (atau penduniaan) akan semakin mempengaruhi perkembangan ekonomi daerah dengan berlakunya perjanjian AFTA, APEC dan lain-lain. Mau tidak mau, siap atau tidak siap perdagangan bebas akan menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat di semua daerah. Upaya untuk menyiapkan pengusaha daerah oleh sebab itu perlu dilakukan. Pengusaha dari negara maju telah siap atau disiapkan sejak lama. Pengusaha daerah juga perlu diberitahu konsekuensi langsung dari ketidaksiapan menghadapi perdagangan bebas. Saat ini, pengusaha lokal mungkin masih dapat meminta pengertian manajer supermarket untuk mendapatkan tempat guna menjual produksinya. Tahun depan, bisa tidak ada toleransi untuk produksi lokal yang tidak lebih murah, tidak lebih berkualitas dan tidak lebih tetap pasokannya.
Meningkatkan daya saing adalah dengan meningkatkan persaingan itu sendiri. Ini berarti perlakuan-perlakukan khusus harus ditinggalkan. Proteksi perlu ditiadakan segera ataupun bertahap. Pengembangan produk yang sukses adalah yang berorientasi pasar, ini berarti pemerintah daerah perlu mendorong pengusaha untuk selalu meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis. Peraturan perdagangan internasional harus diperkenalkan dan diterapkan. Perlu ada upaya terencana agar setiap pejabat pemerinah daerah mengerti peraturan-peraturan perdagangan internasional ini, untuk dapat mendorong pengusaha-pengusaha daerah menjadi pemain-pemain yang tangguh dalam perdagangan bebas, baik pada lingkup daerah, nasional maupun internasional.

e.          Membentuk Ruang yang Mendorong Kegiatan Ekonomi
            Membentuk ruang khusus untuk kegiatan ekonomi akan lebih langsung menggerakkan kegiatan ekonomi. Pemerintah daerah perlu berusaha mengantisipasi kawasan-kawasan mana yang dapat ditumbuhkan menjadi pusat-pusat perekonomian wilayah. Kawasan-kawasan yang strategis dan cepat tumbuh ini dapat berupa kawasan yang sudah menunjukkan tanda-tanda aglomerasi, seperti sentra-sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan; klaster industri, dsb. Kawasan cepat tumbuh juga dapat berupa kawasan yang sengaja dibangun untuk memanfaatkan potensi SDA yang belum diolah, seperti yang dulu dikembangkan dengan sistim permukiman transmigrasi. Kawasan-kawasan ini perlu dikenali dan selanjutnya ditumbuhkan dengan berbagai upaya pengembangan kegiatan ekonomi, seperti pengadaan terminal agribisnis, pengerasan jalan, pelatihan bisnis, promosi dsb.  Pengembangan kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh ini perlu dilakukan bersamaan dengan upaya peningkatan keterampilan, pengembangan usaha, dan penguatan keberdayaan masyarakat

Sumber : Jurnal Ekonomi 

Manajemen Strategik

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 05.54 0 komentar

ARTI MANAJEMEN STRATEGIK


“Manajemen strategik adalah suatu seni dan ilmu dari pembuatan (formulating), penerapan (implementing) dan evaluasi (evaluating0 keputusan-keputusan strategis antar fungsi-fungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan masa datang.”
Dari definisi tersebut terdapat dua hal penting yang dapat disimpulkan, yaitu:
1.    Manajemen Strategik terdiri atas tiga proses:
a.    Pembuatan Strategi, yang meliputi pengembnagan misi dan tujuan jangka panjang, mengidentifiksikan peluang dan ancaman dari luar serta kekuatan dan kelemahan organisasi, pengembangan alternatif-alternatif strategi dan penentuan strategi yang sesuai untuk diadopsi.
b.    Penerapan strategi meliputi penentuan sasaran-sasaran operasional tahunan, kebijakan organisasi, memotovasi anggota dan mengalokasikan sumber-sumber daya agar strategi yang telah ditetapkan dapat diimplementasikan.
c.    Evaluasi/Kontrol strategi, mencakup usaha-usaha untuk memonitor seluruh hasil-hasil dari pembuatan dan penerapan strategi, termasuk mengukur kinerja individu dan organisasi serta mengambil langkah-langkah perbaikan jika diperlukan.

2.    Manajemen Strategik memfokuskan pada penyatuan/penggabungan aspek-aspek pemasaran, riset dan pengembangan, keuangan/akuntansi, operasional/produksi dari sebuah organisasi.

Strategik selalu “memberikan sebuah keuntungan”, sehingga apabila proses manajemen yang dilakukan oleh organisasi gagal menciptakan keuntungan bagi organisasi tersebut maka dapat dikatakan proses manajemen tersebut bukan manajemen strategik.

PERBEDAAN STRATEGI DAN TAKTIK

Untuk memudahkan pengertian antara strategi dan taktik, kita bisa menggunakan kata tanya “apa” dan “bagaimana”.
Jika kita akan memutuskan “apa” yang seharusnya kita lakukan maka kita akan memutuskan suatu strategi. Jika kita akan memutuskan “bagaimana”  untuk mengerjakan sesuatu maka itulah yang dinamakan taktik. Menurut Drucker, strategi adalah mengerjakan sesuatu yang benar (doing the right things) dan taktik adalah mengerjakan sesuatu dengan benar (doing the things right). Sedangkan menurut Karl Van Clausewits, strategi merupakan suatu seni menggunakan pertempuran untuk memenangkan suatu perang, sedangkan taktik adalah seni menggunakan tentara dalam sebuah pertempuran.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa taktik merupakan penjabaran operasional  jangka pendek dari strategi agar strategi tersebut dapat diterapkan. Karena strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan suatu organisasi, maka strategi memiliki beberapa sifat, yaitu :
1.    Menyatu (unified) : menyatukan seluruh bagian-bagian dalam organisasi.
2.    Menyeluruh (comprehensif): mencakup seluruh aspek dalam organisasi.
3.    Integral (integrated) : seluruh strategi akan cocok/sesuai untuk seluruh tingkatan (corporate, business  and functional)

ABCD

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 05.38 0 komentar
Asset Based Community Development

Sebagaimana dipaparkan di atas, tingkat kemiskinan yang tidak kunjung berkurang ini tidak dapat dilepaskan dari pendekatan atau strategi pembangunan yang dalam prakteknya lebih banyak menempatkan rakyat sebagai obyek, belum benar-benar sebagai subyek. Sektor pertanian dan kelautan yang menjadi penopang sebagian besar rakyat Indonesia ternyata justru tidak dipacu sebagaimana halnya di sektor industri. Mulai tahun 1984 kebijakan pembangunan ekonomi meninggalkan sektor pertanian, dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan, yang penuh ketergantungan pada impor (Sajogyo, 20 02). Sedangkan di sektor kelautan, perhatian terhadap kehidupan kaum nelayan yang menggantungkan hidupnya di kawaan pesisir dirasa masih sangat rendah. Padahal kegiatan perikanan di kawasan pesisir mencapai 90 % dari kegiatan perikanan Indonesia (Nikiyullu w, 2000). Justru kebijakan pembangunan seringkali mengakibatkan kaum miskin (petani dan nelayan) termarjinalisasi dan harus kehilangan lahan garapannya demi sebuah proyek pembangunan yang tidak disinergikan dengan kehidupan rakyat setempat. Sebagai contoh proyek industri pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan bali menggusur perkampungan nelayan tanpa ada good will untuk melibatkan rakyat berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata disana (Sunaryo dalam Woro Astuti, 2000). Dengan adanya UU No. 22 tahun 199 9 sebenarnya memberikan angin segar bagi pemupukan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan tentang hal -hal yang menyangkut diri mereka. Kewenangan yang lebih besar diberikan kepada pemerintah propinsi, kabupaten maupun desa, agar lembaga-lembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah sesuai potensi daerah dan aspirasi masyarakatnya masing -masing. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan aspirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan produk kebijaksanaan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat Kenyataan bahwa “daerah lebih mengetahui potensi daerahnya masing - masing”, mendorong untuk dilakukannya re -orientasi peran baik pemerintah pusat, daerah, maupun desa dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan pada era otonomi daerah harus lebih mengandalkan kreativitas dan prakarsa daerah dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pandangan dan pendampingan - pendampingan bagi program-program penanggulangan kemiskinan (Mubyarto, 2002). 
Hal ini merujuk pada esensi community based development yang memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, sehingga mereka akan lebih bertanggungjawab untuk mendukung, memelihara, dan meningkatkan hasil –hasil pembangunan secara berkesinambungan untuk kemaslahatan mereka bersama. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan dapat meningkatkan self-reliance yang dibutuhkan demi akselerasi program-program pembangunan (Bryant C. & White, L.G., 1987). Masyarakat yang sudah diberdayakan ini pada akhirnya akan tumbuh menjadi lebih kreatif dan mandiri, sehingga negara akan menjadi maju. Sebagaimana di negara-negara maju, disana peran entrepreneur society nya (masyarakat wirausaha dan mandiri) sangat menonjol (Tjokroamidjojo, 1990). Di negara sedang berkembang lainnya seperti di Afrika dan India, telah banyak menerapkan model pembangunan yang disebut dengan pengembangan masyarakat (community development). Inti gerakan dan pendekatan ini adalah untuk membantu masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam memperbaiki kondisi kehidupannya baik materiil maupun non-materiil (Norman B. Schwartz, 1978). Meskipun dalam perkembangannya gerakan ini kemudian ditinggalkan dengan alasan hasilnya tidak sepadan, namun kontribusi gerakan ini sangat bermanfaat dalam meletakkan landasan bagi pembangunan entrepreneur society di kalangan masyarakat “bawah”. 

Di Amerika serikat sekitar pertengan dekade 90 an mengembangkan suatu konsep pendekatan pembangunan yang dise but dengan community building khususnya untuk rural area. Community building ini adalah suatu pendekatan yang menyentuh setiap individu rumah tangga agar masing-masing dapat benar-benar mendapatkan manfaat dari program pembangunan yang dijalankan. Pendekat an ini biasanya difokuskan mulai pada peningkatan hal -hal yang bersifat spesifik, seperti meningkatkan kualitas sekolah di desa, perbaikan irigasi, dan lain -lain yang benar-benar dapat melibatkan masyarakat untuk bersama -sama merancang, mengerjakan dan mempertanggung jawabkan hasilnya. Selanjutnya berkembang hingga membangun social capital (saling percaya, kesetiakawanan, moral, dll) diantara warga sehingga tercipta suatu komunitas entrepreneur yang tidak meninggalkan nilai-nilai etika dan moral dalam menge jar pendapatan ( James O. Gibson, G. Thomas Kingsley, Joseph B. McNeely , May 01, 1997, http://www.urban.org/url.cfm?ID=307016 ) Apa yang dilakukan di Amerika tersebut bukannya tidak pernah ada dalam kehidupan keseharian masyarakat pedesaan Indonesia. Seperti gotong royong memperbaiki tanggul, jalan, dan berbagai sarana umum lainnya secara sukarela. Namun aktivitas tersebut justr u merupakan nilai-nilai yang kini banyak dilupakan atau ditinggalkan seiring dengan dinamika pembangunan yang semakin mengikis nilai-nilai kebersamaan (atau disebut sebagai social capital). Kejujuran, sukarela, kesetiakawanan justru semakin memudar. Wakil -wakil rakyat yang sedianya mengayomi dan memperjuangkan aspirasi rakyat justru mencari keuntungan pribadi dengan mengatas namakan rakyat, sudah menjadi fakta di berbagai daerah. Pemerintah otonom yang sedianya lebih berorientasi untuk kesejahteraan rakyat justru dalam beberapa kebijakannya mengabaikan aspirasi dan cenderung membebani rakyatnya. Beberapa contoh konkrit dapat dikemukakan seperti di Kabupaten Pasaman, Sumbar, memiliki Perda No 14/2000 yang mengenakan retribusi kepada pasar, grosir, dan pertokoan sebesar Rp 5.000 per hari. 
Adapun di Kabupaten Pariaman melalui Perda No 2/2000 dikenakan retribusi bagi masyarakat yang menjual ternak. Bahkan, di Kabupaten Cirebon, ada perda yang memberlakukan pungutan kepada pengamen, di Bengkulu diberlakukan pungu tan kepada masyarakat yang mengambil sayuran di hutan (Kompas, 26 Agustus 2003). Bahkan di era otonomi daerah ini, beberapa proyek pembagunan daerah dan desa ternyata juga masih kurang memperhatikan dan melibatkan masyarakat local. Sebagai contoh proyek CERD/Community Empowerment for Rural Development (penguatan masyarakat untuk pembangunan desa) di Kalimantan Selatan (Kalsel), yang didanai utang luar negeri (loan) Asian Development Bank (ADB) dinilai telah gagal dari tujuan awal. Karena itu, masyarakat desa yang menjadi lokasi proyek tersebut melakukan protes kepada ADB dan menyerukan agar segera ada perubahan.