Welcome to my blog :)

rss

Rabu, 19 Mei 2010

Keuangan Daerah

Keuangan Daerah: Sebelum dan Sesudah Otonomi.
Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada masa orde baru didasarkan pada UU. No. 5/1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, Undang- undang  tersebut  juga  menjelaskan  hubungan  keuangan  antara  pemerintah  pusat  dan pemerintah   daerah.   Untuk   bisa   menjalankan   tugas-tugas   dan   fungsi-fungsi   yang dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan, dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 komponen besar, yaitu:

A. Pendapatan Asli Daerah, yang meliputi:

    . Hasil pajak daerah

    . Hasil restribusi daerah

    . Hasil perusahaan daerah (BUMD)

    . Lain-lain hasil usaha daerah yang sah

B. Pendapatan yang berasal dari pusat, meliputi:

    . Sumbangan dari pemerintah

    . Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan

C. Lain-lain pendapatan daerah yang sah


Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan   yang   berasal   dari   pusat   merupakan   cerminan   atau   indikator   dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Disamping itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi kepada kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu berada di daerah. Sehingga ada beberapa  proyek  pemerintah  pusat  yang  dilaksanakan  di  daerah  yang  dibiayai  oleh pemerintah  pusat  melalui  APBN  tetapi   dana  itu  juga  masuk  di  dalam  anggaran pemerintah daerah (APBD). Pembiayaan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut (Kuncoro, 2004):
    Urusan  yang  merupakan  tugas  pemerintah  pusat  di  daerah  dalam  rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN
    Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD
    Urusan yang merupakan tugas pemerintah  pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya,  yang  dilaksanakan  dalam  rangka  tugas  perbantuan,  dibiayai  oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau  oleh pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan.
Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah pusat memberikan  sejumlah  sumbangan  kepada  pemerintah  daerah.  Dengan  demikian  bagi pemerintah daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai  penelitian  empiris  yang  pernah  dilakukan  menyebutkan  bahwa  dari  ketiga sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas, peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.


Ketergantungan yang sangat tinggi dari  keuangan daerah terhadap pusat seperti tersebut diatas tidak lepas dari makna otonomi dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok   Pemerintahan   di   Daerah.   UU   tersebut   lebih   tepat   disebut   sebagai penyelenggaraan  pemerintahan  yang  sentralistik  daripada  yang  desentralistik.  Unsur sentralistik ini sangat nyata dalam pelaksanaan dekonsentrasi. Dalam implementasinya dekonsentrasi  merupakan  sarana  bagi  perangkat  birokrasi  pusat  untuk  menjalankan praktek sentralisasi yang terselubung sehingga kemandirian daerah menjadi terhambat. Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah mengeluarkan satu
paket   Undang-undang   otonomi   daerah,   yaitu   UU   No.   22   Tahun   1999   tentang Pemerintahan  Daerah  dan  UU  N0.  25  Tahun  1999  tentang  Perimbangan  Keuangan Antara  Pemerintah  Pusat  dan  Daerah.  Pelimpahan  wewenang  dari  pemerintah  pusat kepada  pemerintah  daerah  yang  diatur  dalam  UU  No.  22  perlu  dibarengi  dengan pelimpahan keuangan dari perintah pusat ke  pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah ada otonomi bagi pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang tersebut saling melengkapi (Ismail, 2002). Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU. No 25 Tahun 1999 terdiri dari (Kuncoro,

2004):

(a)  Pendapatan Asli Daerah (PAD),

(b) Dana Perimbangan,

(c)  Pinjaman daerah dan
(d) Lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat). Penerimaan asli daerah (PAD) terdiri dari empat komponen besar yaitu:

(a). Pajak Daerah

(b) Restribusi Daerah,

(c) Hasil perusahaaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya

(d) Lain-lain pendapatan yang sah.

Dasar hukum dari sumber-sumber PAD tersebut masih mengacu pada UU NO. 8
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebenarnya Undang-undang ini sangat membatasi kreativitas daerah dalam menggali sumber penerimaan aslinya karena hanya menetapkan 6 jenis pajak yang boleh dipungut oleh Kabupaten atau Kodya. Dalam sistem pemerintahan yang sentralistis, UU itu tidak terlalu menjadi masalah, tetapi dalam sistem disentralisasi fiskal seperti dalam UU No. 25/1999, Undang-undang tahun 1997 tersebut   menjadi   tidak   relevan   lagi,   karena   salah   satu   syarat   terselenggaranya desentralisasi  fiskal  adalah  ada  kewenangan  pemerintah  daerah  yang  cukup  longgar dalam memungut pajak lokal. Oleh karana itu tanpa ada revisi terhadap Undang-undang ini, peranan PAD di masa datang tetap akan menjadi marginal seperti pada masa Orde Baru mengingat pajak-pajak potensial bagi daerah tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Pemerintah Daerah Tingkat II hanya memiliki 6 sumber pendapatan asli daerah dimana sebagian besar dari padanya dari pengalaman di masa lalu sudah terbukti hanya memiliki peranan yang relatif kecil bagi kemandirian daerah (Ismail, 2002)

0 komentar:

Posting Komentar

Rabu, 19 Mei 2010

Keuangan Daerah

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 18.23
Keuangan Daerah: Sebelum dan Sesudah Otonomi.
Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada masa orde baru didasarkan pada UU. No. 5/1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, Undang- undang  tersebut  juga  menjelaskan  hubungan  keuangan  antara  pemerintah  pusat  dan pemerintah   daerah.   Untuk   bisa   menjalankan   tugas-tugas   dan   fungsi-fungsi   yang dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan, dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 komponen besar, yaitu:

A. Pendapatan Asli Daerah, yang meliputi:

    . Hasil pajak daerah

    . Hasil restribusi daerah

    . Hasil perusahaan daerah (BUMD)

    . Lain-lain hasil usaha daerah yang sah

B. Pendapatan yang berasal dari pusat, meliputi:

    . Sumbangan dari pemerintah

    . Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan

C. Lain-lain pendapatan daerah yang sah


Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan   yang   berasal   dari   pusat   merupakan   cerminan   atau   indikator   dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Disamping itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi kepada kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu berada di daerah. Sehingga ada beberapa  proyek  pemerintah  pusat  yang  dilaksanakan  di  daerah  yang  dibiayai  oleh pemerintah  pusat  melalui  APBN  tetapi   dana  itu  juga  masuk  di  dalam  anggaran pemerintah daerah (APBD). Pembiayaan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut (Kuncoro, 2004):
    Urusan  yang  merupakan  tugas  pemerintah  pusat  di  daerah  dalam  rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN
    Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD
    Urusan yang merupakan tugas pemerintah  pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya,  yang  dilaksanakan  dalam  rangka  tugas  perbantuan,  dibiayai  oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau  oleh pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan.
Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah pusat memberikan  sejumlah  sumbangan  kepada  pemerintah  daerah.  Dengan  demikian  bagi pemerintah daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai  penelitian  empiris  yang  pernah  dilakukan  menyebutkan  bahwa  dari  ketiga sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas, peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.


Ketergantungan yang sangat tinggi dari  keuangan daerah terhadap pusat seperti tersebut diatas tidak lepas dari makna otonomi dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok   Pemerintahan   di   Daerah.   UU   tersebut   lebih   tepat   disebut   sebagai penyelenggaraan  pemerintahan  yang  sentralistik  daripada  yang  desentralistik.  Unsur sentralistik ini sangat nyata dalam pelaksanaan dekonsentrasi. Dalam implementasinya dekonsentrasi  merupakan  sarana  bagi  perangkat  birokrasi  pusat  untuk  menjalankan praktek sentralisasi yang terselubung sehingga kemandirian daerah menjadi terhambat. Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah mengeluarkan satu
paket   Undang-undang   otonomi   daerah,   yaitu   UU   No.   22   Tahun   1999   tentang Pemerintahan  Daerah  dan  UU  N0.  25  Tahun  1999  tentang  Perimbangan  Keuangan Antara  Pemerintah  Pusat  dan  Daerah.  Pelimpahan  wewenang  dari  pemerintah  pusat kepada  pemerintah  daerah  yang  diatur  dalam  UU  No.  22  perlu  dibarengi  dengan pelimpahan keuangan dari perintah pusat ke  pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah ada otonomi bagi pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang tersebut saling melengkapi (Ismail, 2002). Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU. No 25 Tahun 1999 terdiri dari (Kuncoro,

2004):

(a)  Pendapatan Asli Daerah (PAD),

(b) Dana Perimbangan,

(c)  Pinjaman daerah dan
(d) Lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat). Penerimaan asli daerah (PAD) terdiri dari empat komponen besar yaitu:

(a). Pajak Daerah

(b) Restribusi Daerah,

(c) Hasil perusahaaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya

(d) Lain-lain pendapatan yang sah.

Dasar hukum dari sumber-sumber PAD tersebut masih mengacu pada UU NO. 8
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebenarnya Undang-undang ini sangat membatasi kreativitas daerah dalam menggali sumber penerimaan aslinya karena hanya menetapkan 6 jenis pajak yang boleh dipungut oleh Kabupaten atau Kodya. Dalam sistem pemerintahan yang sentralistis, UU itu tidak terlalu menjadi masalah, tetapi dalam sistem disentralisasi fiskal seperti dalam UU No. 25/1999, Undang-undang tahun 1997 tersebut   menjadi   tidak   relevan   lagi,   karena   salah   satu   syarat   terselenggaranya desentralisasi  fiskal  adalah  ada  kewenangan  pemerintah  daerah  yang  cukup  longgar dalam memungut pajak lokal. Oleh karana itu tanpa ada revisi terhadap Undang-undang ini, peranan PAD di masa datang tetap akan menjadi marginal seperti pada masa Orde Baru mengingat pajak-pajak potensial bagi daerah tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Pemerintah Daerah Tingkat II hanya memiliki 6 sumber pendapatan asli daerah dimana sebagian besar dari padanya dari pengalaman di masa lalu sudah terbukti hanya memiliki peranan yang relatif kecil bagi kemandirian daerah (Ismail, 2002)

0 komentar on "Keuangan Daerah"

Posting Komentar