Welcome to my blog :)

rss

Sabtu, 08 Mei 2010

ABCD

Asset Based Community Development

Sebagaimana dipaparkan di atas, tingkat kemiskinan yang tidak kunjung berkurang ini tidak dapat dilepaskan dari pendekatan atau strategi pembangunan yang dalam prakteknya lebih banyak menempatkan rakyat sebagai obyek, belum benar-benar sebagai subyek. Sektor pertanian dan kelautan yang menjadi penopang sebagian besar rakyat Indonesia ternyata justru tidak dipacu sebagaimana halnya di sektor industri. Mulai tahun 1984 kebijakan pembangunan ekonomi meninggalkan sektor pertanian, dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan, yang penuh ketergantungan pada impor (Sajogyo, 20 02). Sedangkan di sektor kelautan, perhatian terhadap kehidupan kaum nelayan yang menggantungkan hidupnya di kawaan pesisir dirasa masih sangat rendah. Padahal kegiatan perikanan di kawasan pesisir mencapai 90 % dari kegiatan perikanan Indonesia (Nikiyullu w, 2000). Justru kebijakan pembangunan seringkali mengakibatkan kaum miskin (petani dan nelayan) termarjinalisasi dan harus kehilangan lahan garapannya demi sebuah proyek pembangunan yang tidak disinergikan dengan kehidupan rakyat setempat. Sebagai contoh proyek industri pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan bali menggusur perkampungan nelayan tanpa ada good will untuk melibatkan rakyat berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata disana (Sunaryo dalam Woro Astuti, 2000). Dengan adanya UU No. 22 tahun 199 9 sebenarnya memberikan angin segar bagi pemupukan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan tentang hal -hal yang menyangkut diri mereka. Kewenangan yang lebih besar diberikan kepada pemerintah propinsi, kabupaten maupun desa, agar lembaga-lembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah sesuai potensi daerah dan aspirasi masyarakatnya masing -masing. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan aspirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan produk kebijaksanaan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat Kenyataan bahwa “daerah lebih mengetahui potensi daerahnya masing - masing”, mendorong untuk dilakukannya re -orientasi peran baik pemerintah pusat, daerah, maupun desa dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan pada era otonomi daerah harus lebih mengandalkan kreativitas dan prakarsa daerah dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pandangan dan pendampingan - pendampingan bagi program-program penanggulangan kemiskinan (Mubyarto, 2002). 
Hal ini merujuk pada esensi community based development yang memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, sehingga mereka akan lebih bertanggungjawab untuk mendukung, memelihara, dan meningkatkan hasil –hasil pembangunan secara berkesinambungan untuk kemaslahatan mereka bersama. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan dapat meningkatkan self-reliance yang dibutuhkan demi akselerasi program-program pembangunan (Bryant C. & White, L.G., 1987). Masyarakat yang sudah diberdayakan ini pada akhirnya akan tumbuh menjadi lebih kreatif dan mandiri, sehingga negara akan menjadi maju. Sebagaimana di negara-negara maju, disana peran entrepreneur society nya (masyarakat wirausaha dan mandiri) sangat menonjol (Tjokroamidjojo, 1990). Di negara sedang berkembang lainnya seperti di Afrika dan India, telah banyak menerapkan model pembangunan yang disebut dengan pengembangan masyarakat (community development). Inti gerakan dan pendekatan ini adalah untuk membantu masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam memperbaiki kondisi kehidupannya baik materiil maupun non-materiil (Norman B. Schwartz, 1978). Meskipun dalam perkembangannya gerakan ini kemudian ditinggalkan dengan alasan hasilnya tidak sepadan, namun kontribusi gerakan ini sangat bermanfaat dalam meletakkan landasan bagi pembangunan entrepreneur society di kalangan masyarakat “bawah”. 

Di Amerika serikat sekitar pertengan dekade 90 an mengembangkan suatu konsep pendekatan pembangunan yang dise but dengan community building khususnya untuk rural area. Community building ini adalah suatu pendekatan yang menyentuh setiap individu rumah tangga agar masing-masing dapat benar-benar mendapatkan manfaat dari program pembangunan yang dijalankan. Pendekat an ini biasanya difokuskan mulai pada peningkatan hal -hal yang bersifat spesifik, seperti meningkatkan kualitas sekolah di desa, perbaikan irigasi, dan lain -lain yang benar-benar dapat melibatkan masyarakat untuk bersama -sama merancang, mengerjakan dan mempertanggung jawabkan hasilnya. Selanjutnya berkembang hingga membangun social capital (saling percaya, kesetiakawanan, moral, dll) diantara warga sehingga tercipta suatu komunitas entrepreneur yang tidak meninggalkan nilai-nilai etika dan moral dalam menge jar pendapatan ( James O. Gibson, G. Thomas Kingsley, Joseph B. McNeely , May 01, 1997, http://www.urban.org/url.cfm?ID=307016 ) Apa yang dilakukan di Amerika tersebut bukannya tidak pernah ada dalam kehidupan keseharian masyarakat pedesaan Indonesia. Seperti gotong royong memperbaiki tanggul, jalan, dan berbagai sarana umum lainnya secara sukarela. Namun aktivitas tersebut justr u merupakan nilai-nilai yang kini banyak dilupakan atau ditinggalkan seiring dengan dinamika pembangunan yang semakin mengikis nilai-nilai kebersamaan (atau disebut sebagai social capital). Kejujuran, sukarela, kesetiakawanan justru semakin memudar. Wakil -wakil rakyat yang sedianya mengayomi dan memperjuangkan aspirasi rakyat justru mencari keuntungan pribadi dengan mengatas namakan rakyat, sudah menjadi fakta di berbagai daerah. Pemerintah otonom yang sedianya lebih berorientasi untuk kesejahteraan rakyat justru dalam beberapa kebijakannya mengabaikan aspirasi dan cenderung membebani rakyatnya. Beberapa contoh konkrit dapat dikemukakan seperti di Kabupaten Pasaman, Sumbar, memiliki Perda No 14/2000 yang mengenakan retribusi kepada pasar, grosir, dan pertokoan sebesar Rp 5.000 per hari. 
Adapun di Kabupaten Pariaman melalui Perda No 2/2000 dikenakan retribusi bagi masyarakat yang menjual ternak. Bahkan, di Kabupaten Cirebon, ada perda yang memberlakukan pungutan kepada pengamen, di Bengkulu diberlakukan pungu tan kepada masyarakat yang mengambil sayuran di hutan (Kompas, 26 Agustus 2003). Bahkan di era otonomi daerah ini, beberapa proyek pembagunan daerah dan desa ternyata juga masih kurang memperhatikan dan melibatkan masyarakat local. Sebagai contoh proyek CERD/Community Empowerment for Rural Development (penguatan masyarakat untuk pembangunan desa) di Kalimantan Selatan (Kalsel), yang didanai utang luar negeri (loan) Asian Development Bank (ADB) dinilai telah gagal dari tujuan awal. Karena itu, masyarakat desa yang menjadi lokasi proyek tersebut melakukan protes kepada ADB dan menyerukan agar segera ada perubahan. 


Para petani yang berinisiatif memonitor proyek CERD itu menemukan fakta, proyek yang tujuannya memberdayakan warga itu ternyata hanya dijalankan pem borong, mengabaikan partisipasi warga, tidak transparan, dan banyak diselewengkan (Kompas, 27 maret 2003). Kemanakan arah pembangunan ini sebenarnya akan dibawa? Akankah pengentasan kemiskinan hanya menjadi retorika abadi di tengah gempitanya situasi politik yang selalu memanas semenjak reformasi digulirkan? Hal ini tentunya perlu direnungkan dalam hati dan pikiran seluruh komponen bangsa yang menghendaki perbaikan negeri ini. Pengakuan dan perlakuan terhadap masalah -masalah rakyat (public affair) dan kepentingan rakyat (public interest) sudah waktunya terealisasi dalam bentuk kebijakan dan program –program pembangunan yang dapat menyentuh masyarakat di “akar rumput”. Tujuan ini dapat terealisir dengan adanya komitmen pemerintah untuk menerapkan asset based community development yakni suatu pendekatan yang berdasar pada community based development dengan lebih menggali dan mengembangkan seluruh potensi sumber daya ( resources), keahlian (skills), serta asset yang dimiliki masyarakat di daerah. Pendekatan ini (1) tidak lagi hanya berorientasi pada problem atau kebutuhan yang dihadapi masyarakat saja, tetapi lebih fokus kepada bagaimana mendayagunakan potensi, sumberdaya, keahlian, dan asset yang ada untuk mengatasi problem dan memenuhi kebutuhan mereka;
(2) pendekatan ini lebih bersifat community driven daripada external agency driven; (3) berusaha menggali kembali dan memelihara social capital sebagai asset terpenting dalam pembangunan; (4) melalui pendekatan partisipatoris akan memperkuat civil society (masyarakat madani) yang merupakan keinginan setiap warga bangsa ( disarikan dari Gord Cunningham and Alison Mathie , 2002). Barangkali konsep Asset Based Community Development ini sejalan dengan gagasan Profesor Mubyarto mengenai Ekonomi Pancasila yang menawark an revitalisasi moral ekonomi Indonesia (Mubyarto & Daniel W. Bromley, 2002). . Namun sejauh ini gagasan Ekonomi Pancasila tersebut masih berada dalam tataran konsep yang sarat nilai -nilai etika, moral, ide, dan ideologi. Untuk itu perlu dilakukan usaha -usaha lebih lanjut agar konsep Ekonomi Pancasila tersebut menjadi lebih operasional dan dapat manjadi landasan moral pengambilan kebijakan. Berdasarkan asset based community development ini, Pemerintah sebaiknya tidak lagi membiayai proyek-proyek pembangunan dengan pinjaman luar negeri, terutama yang berkaitan dengan penghapusan kemiskinan, perbaikan kapasitas pemerintahan, termasuk perbaikan sistem hukum untuk mengurangi korupsi sebenarnya bukanlah langkah yang tepat, kecuali untuk mengirimkan pegawai pemerintah yang melakukan studi ke luar negeri. Sebagaimana pendapat Ekonom Umar Juoro (Cides, 2003), Proyek -proyek tersebut semestinya dibiayai oleh sumber dalam negeri yang sebenarnya cukup tersedia. Lebih baik meminjam dari dalam negeri seperti melalui pener bitan Surat Utang Negara jangka pendek (T-bills) yang dapat menyalurkan dana yang tidak produktif untuk kegiatan pembangunan daripada meminjam dana dari luar negeri yang bukan saja administrasinya rumit tetapi juga daya serapnya rendah dan penggunaannya juga kurang efektif. Menurutnya pemerintah daerah semestinya menaruh perhatian lebih besar pada upaya menghapuskan kemiskinan di daerahnya. 

Dana yang tersedia sebaiknya dipergunakan untuk proyek -proyek yang mengatasi kemiskinan secara langsung di daerah bersangkutan dan sebisa mungkin memfasilitasi berkembangnya kegiatan ekonomi terutama investasi yang menciptakan kesempatan kerja. Dengan demikian masyarakat yang dahulu hanya menjadi obyek pembangunan, dapat sedikit demi sedikit turut memikirkan sendiri baga imana cara terbaik untuk mengatasi masalah mereka dengan menyadari apa saja yang mereka miliki dan dapat digunakan untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Disinilah hakekat pembangunan yang sesungguhnya..




Sumber : Jurnal Pembangunana Ekonomi ; Oleh Adri Patton (Dosen FISIP Univ. Mulawarman)

0 komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 08 Mei 2010

ABCD

Diposting oleh Rita Sartika Putri di 05.38
Asset Based Community Development

Sebagaimana dipaparkan di atas, tingkat kemiskinan yang tidak kunjung berkurang ini tidak dapat dilepaskan dari pendekatan atau strategi pembangunan yang dalam prakteknya lebih banyak menempatkan rakyat sebagai obyek, belum benar-benar sebagai subyek. Sektor pertanian dan kelautan yang menjadi penopang sebagian besar rakyat Indonesia ternyata justru tidak dipacu sebagaimana halnya di sektor industri. Mulai tahun 1984 kebijakan pembangunan ekonomi meninggalkan sektor pertanian, dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan, yang penuh ketergantungan pada impor (Sajogyo, 20 02). Sedangkan di sektor kelautan, perhatian terhadap kehidupan kaum nelayan yang menggantungkan hidupnya di kawaan pesisir dirasa masih sangat rendah. Padahal kegiatan perikanan di kawasan pesisir mencapai 90 % dari kegiatan perikanan Indonesia (Nikiyullu w, 2000). Justru kebijakan pembangunan seringkali mengakibatkan kaum miskin (petani dan nelayan) termarjinalisasi dan harus kehilangan lahan garapannya demi sebuah proyek pembangunan yang tidak disinergikan dengan kehidupan rakyat setempat. Sebagai contoh proyek industri pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan bali menggusur perkampungan nelayan tanpa ada good will untuk melibatkan rakyat berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata disana (Sunaryo dalam Woro Astuti, 2000). Dengan adanya UU No. 22 tahun 199 9 sebenarnya memberikan angin segar bagi pemupukan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan tentang hal -hal yang menyangkut diri mereka. Kewenangan yang lebih besar diberikan kepada pemerintah propinsi, kabupaten maupun desa, agar lembaga-lembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah sesuai potensi daerah dan aspirasi masyarakatnya masing -masing. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan aspirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan produk kebijaksanaan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat Kenyataan bahwa “daerah lebih mengetahui potensi daerahnya masing - masing”, mendorong untuk dilakukannya re -orientasi peran baik pemerintah pusat, daerah, maupun desa dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan pada era otonomi daerah harus lebih mengandalkan kreativitas dan prakarsa daerah dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pandangan dan pendampingan - pendampingan bagi program-program penanggulangan kemiskinan (Mubyarto, 2002). 
Hal ini merujuk pada esensi community based development yang memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, sehingga mereka akan lebih bertanggungjawab untuk mendukung, memelihara, dan meningkatkan hasil –hasil pembangunan secara berkesinambungan untuk kemaslahatan mereka bersama. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan dapat meningkatkan self-reliance yang dibutuhkan demi akselerasi program-program pembangunan (Bryant C. & White, L.G., 1987). Masyarakat yang sudah diberdayakan ini pada akhirnya akan tumbuh menjadi lebih kreatif dan mandiri, sehingga negara akan menjadi maju. Sebagaimana di negara-negara maju, disana peran entrepreneur society nya (masyarakat wirausaha dan mandiri) sangat menonjol (Tjokroamidjojo, 1990). Di negara sedang berkembang lainnya seperti di Afrika dan India, telah banyak menerapkan model pembangunan yang disebut dengan pengembangan masyarakat (community development). Inti gerakan dan pendekatan ini adalah untuk membantu masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam memperbaiki kondisi kehidupannya baik materiil maupun non-materiil (Norman B. Schwartz, 1978). Meskipun dalam perkembangannya gerakan ini kemudian ditinggalkan dengan alasan hasilnya tidak sepadan, namun kontribusi gerakan ini sangat bermanfaat dalam meletakkan landasan bagi pembangunan entrepreneur society di kalangan masyarakat “bawah”. 

Di Amerika serikat sekitar pertengan dekade 90 an mengembangkan suatu konsep pendekatan pembangunan yang dise but dengan community building khususnya untuk rural area. Community building ini adalah suatu pendekatan yang menyentuh setiap individu rumah tangga agar masing-masing dapat benar-benar mendapatkan manfaat dari program pembangunan yang dijalankan. Pendekat an ini biasanya difokuskan mulai pada peningkatan hal -hal yang bersifat spesifik, seperti meningkatkan kualitas sekolah di desa, perbaikan irigasi, dan lain -lain yang benar-benar dapat melibatkan masyarakat untuk bersama -sama merancang, mengerjakan dan mempertanggung jawabkan hasilnya. Selanjutnya berkembang hingga membangun social capital (saling percaya, kesetiakawanan, moral, dll) diantara warga sehingga tercipta suatu komunitas entrepreneur yang tidak meninggalkan nilai-nilai etika dan moral dalam menge jar pendapatan ( James O. Gibson, G. Thomas Kingsley, Joseph B. McNeely , May 01, 1997, http://www.urban.org/url.cfm?ID=307016 ) Apa yang dilakukan di Amerika tersebut bukannya tidak pernah ada dalam kehidupan keseharian masyarakat pedesaan Indonesia. Seperti gotong royong memperbaiki tanggul, jalan, dan berbagai sarana umum lainnya secara sukarela. Namun aktivitas tersebut justr u merupakan nilai-nilai yang kini banyak dilupakan atau ditinggalkan seiring dengan dinamika pembangunan yang semakin mengikis nilai-nilai kebersamaan (atau disebut sebagai social capital). Kejujuran, sukarela, kesetiakawanan justru semakin memudar. Wakil -wakil rakyat yang sedianya mengayomi dan memperjuangkan aspirasi rakyat justru mencari keuntungan pribadi dengan mengatas namakan rakyat, sudah menjadi fakta di berbagai daerah. Pemerintah otonom yang sedianya lebih berorientasi untuk kesejahteraan rakyat justru dalam beberapa kebijakannya mengabaikan aspirasi dan cenderung membebani rakyatnya. Beberapa contoh konkrit dapat dikemukakan seperti di Kabupaten Pasaman, Sumbar, memiliki Perda No 14/2000 yang mengenakan retribusi kepada pasar, grosir, dan pertokoan sebesar Rp 5.000 per hari. 
Adapun di Kabupaten Pariaman melalui Perda No 2/2000 dikenakan retribusi bagi masyarakat yang menjual ternak. Bahkan, di Kabupaten Cirebon, ada perda yang memberlakukan pungutan kepada pengamen, di Bengkulu diberlakukan pungu tan kepada masyarakat yang mengambil sayuran di hutan (Kompas, 26 Agustus 2003). Bahkan di era otonomi daerah ini, beberapa proyek pembagunan daerah dan desa ternyata juga masih kurang memperhatikan dan melibatkan masyarakat local. Sebagai contoh proyek CERD/Community Empowerment for Rural Development (penguatan masyarakat untuk pembangunan desa) di Kalimantan Selatan (Kalsel), yang didanai utang luar negeri (loan) Asian Development Bank (ADB) dinilai telah gagal dari tujuan awal. Karena itu, masyarakat desa yang menjadi lokasi proyek tersebut melakukan protes kepada ADB dan menyerukan agar segera ada perubahan. 


Para petani yang berinisiatif memonitor proyek CERD itu menemukan fakta, proyek yang tujuannya memberdayakan warga itu ternyata hanya dijalankan pem borong, mengabaikan partisipasi warga, tidak transparan, dan banyak diselewengkan (Kompas, 27 maret 2003). Kemanakan arah pembangunan ini sebenarnya akan dibawa? Akankah pengentasan kemiskinan hanya menjadi retorika abadi di tengah gempitanya situasi politik yang selalu memanas semenjak reformasi digulirkan? Hal ini tentunya perlu direnungkan dalam hati dan pikiran seluruh komponen bangsa yang menghendaki perbaikan negeri ini. Pengakuan dan perlakuan terhadap masalah -masalah rakyat (public affair) dan kepentingan rakyat (public interest) sudah waktunya terealisasi dalam bentuk kebijakan dan program –program pembangunan yang dapat menyentuh masyarakat di “akar rumput”. Tujuan ini dapat terealisir dengan adanya komitmen pemerintah untuk menerapkan asset based community development yakni suatu pendekatan yang berdasar pada community based development dengan lebih menggali dan mengembangkan seluruh potensi sumber daya ( resources), keahlian (skills), serta asset yang dimiliki masyarakat di daerah. Pendekatan ini (1) tidak lagi hanya berorientasi pada problem atau kebutuhan yang dihadapi masyarakat saja, tetapi lebih fokus kepada bagaimana mendayagunakan potensi, sumberdaya, keahlian, dan asset yang ada untuk mengatasi problem dan memenuhi kebutuhan mereka;
(2) pendekatan ini lebih bersifat community driven daripada external agency driven; (3) berusaha menggali kembali dan memelihara social capital sebagai asset terpenting dalam pembangunan; (4) melalui pendekatan partisipatoris akan memperkuat civil society (masyarakat madani) yang merupakan keinginan setiap warga bangsa ( disarikan dari Gord Cunningham and Alison Mathie , 2002). Barangkali konsep Asset Based Community Development ini sejalan dengan gagasan Profesor Mubyarto mengenai Ekonomi Pancasila yang menawark an revitalisasi moral ekonomi Indonesia (Mubyarto & Daniel W. Bromley, 2002). . Namun sejauh ini gagasan Ekonomi Pancasila tersebut masih berada dalam tataran konsep yang sarat nilai -nilai etika, moral, ide, dan ideologi. Untuk itu perlu dilakukan usaha -usaha lebih lanjut agar konsep Ekonomi Pancasila tersebut menjadi lebih operasional dan dapat manjadi landasan moral pengambilan kebijakan. Berdasarkan asset based community development ini, Pemerintah sebaiknya tidak lagi membiayai proyek-proyek pembangunan dengan pinjaman luar negeri, terutama yang berkaitan dengan penghapusan kemiskinan, perbaikan kapasitas pemerintahan, termasuk perbaikan sistem hukum untuk mengurangi korupsi sebenarnya bukanlah langkah yang tepat, kecuali untuk mengirimkan pegawai pemerintah yang melakukan studi ke luar negeri. Sebagaimana pendapat Ekonom Umar Juoro (Cides, 2003), Proyek -proyek tersebut semestinya dibiayai oleh sumber dalam negeri yang sebenarnya cukup tersedia. Lebih baik meminjam dari dalam negeri seperti melalui pener bitan Surat Utang Negara jangka pendek (T-bills) yang dapat menyalurkan dana yang tidak produktif untuk kegiatan pembangunan daripada meminjam dana dari luar negeri yang bukan saja administrasinya rumit tetapi juga daya serapnya rendah dan penggunaannya juga kurang efektif. Menurutnya pemerintah daerah semestinya menaruh perhatian lebih besar pada upaya menghapuskan kemiskinan di daerahnya. 

Dana yang tersedia sebaiknya dipergunakan untuk proyek -proyek yang mengatasi kemiskinan secara langsung di daerah bersangkutan dan sebisa mungkin memfasilitasi berkembangnya kegiatan ekonomi terutama investasi yang menciptakan kesempatan kerja. Dengan demikian masyarakat yang dahulu hanya menjadi obyek pembangunan, dapat sedikit demi sedikit turut memikirkan sendiri baga imana cara terbaik untuk mengatasi masalah mereka dengan menyadari apa saja yang mereka miliki dan dapat digunakan untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Disinilah hakekat pembangunan yang sesungguhnya..




Sumber : Jurnal Pembangunana Ekonomi ; Oleh Adri Patton (Dosen FISIP Univ. Mulawarman)

0 komentar on "ABCD"

Posting Komentar